Friday, December 23

Nostalgi


I
Kembali didekap basah kotamu; menggigil ruang dan waktu. Satusatu garis tertata, raut menjelma, selembut urat kelopak bunga sepatu. Lalu senyum, bergayut di pias nafasku.

II
Berkilat aspal jalanan, mencipta manik tiba tiap cahaya. Setiap kelok adalah prasasti kita meretas hari. Sisa kabut  tipis lariknya, melangkah dalam ritme penari istana, sebelum nanti muksa seiring ufuk timur menembaga. Sunyi, tinggal desau angin dini hari. Hati bergema denting,  rindu bersama menganyam bunga, daun, dan reranting…

III
Bangunan ini telah banyak berubah, tak lagi serupa malammalam kita habiskan membagi kisah dan kesah. Tak lagi ringkih batang mahoni. Bangku kayu, tembok,  taman, gercik sungai tak sama lagi. Tinggal rumput dan gugus perdu, pekat tak sampai sinar lampu. Pagi belum rekah; jantung haru yang buncah.

IV
Membisu pokok akasia, teringat tuntas harihari di  naungnya. Tawa, tangis, kesal, sesal, juga harap yang kadang tanggal. Begitu ringkas waktu, remaja lukisan lalu; kenang kini warisanmu.


Pwt, 171211