Tuesday, December 17

Kali Ini



Kali ini
Hujan menyeruak senyap pagi minggu
Titiknya sebat menyusup sela daunan, melulur membasah dahan
Mengetuki atap, pecah di permukaan jalan;
Serupa merjan
Sebagian lesap dalam sahaja dekap rumputan
Sebagian resap dalam kenang dan ingatan
Mengusik,
Gemerciknya serupa desah
Menyebar segar aroma debu basah
Semata hadir,
Tanpa ketuk pintu. Tanpa salam terlebih dulu
Seperti rindu


(Mkw, 151213)

Monday, November 11

Senja di Dermaga


Yang tak pernah kehilangan pesona; saat tiba senja.  Sebuah momen sekejab saat matahari lingsir di seberang cakrawala. Di ufuk barat, langit dan awan segera menyemburat warna jingga, sebelum nantinya terang benar-benar lenyap berganti kelam malam. Udara akan berangsur sejuk. Bayang semakin merunduk. Remang pun tumbuh.
Terlebih senja di sebuah dermaga kecil. Senja menjadi sebuah momen yang tak hanya indah, namun juga menggugah. Mengagumkan menyaksikan larik-larik warna yang terbias di langit, juga di laut. Beberapa perahu nelayan yang ditambatkan, bergerak tak pernah tenang; seperti jemu dikekang, rindu bertualang. Deret bangunan, juga sesekali manusia yang melintas, jadi bertambah elok disepuhi warna tembaga.
Sesekali akan tampak perahu nelayan melintas, kembali dari berlayar. Juga anak-anak yang riang bermain, berlarian, atau berenang di salah satu sisi pelabuhan. Para pemancing ikan, juga satu-dua pejalan kaki yang menikmati senja hari.  Sementara permukaan laut serupa sapuan cat berpuluh warna, berbaur mencipta manik-manik di setiap riaknya. Merah, kuning keemasan, lembayung, atau entah warna apa lagi, mengembang di permukaan air. Segala yang ada seperti sebuah komposisi sempurna; sebuah karya dari Yang Serba Maha.  
Senja, laut, dan dermaga memang sebuah kombinasi yang istimewa. Begitu mudah menerbitkan getar. Selalu mampu membawa hening tersendiri.  Seperti ada yang gaib, yang agung, menawarkan misteri yang tak gampang terselami. Sebuah ruang dan waktu yang gampang membawa pada khusyuk. Tak jelas benar mengapa. Mungkin karena senja, laut, dan dermaga begitu lekat dengan segala renung tentang hidup.

Saturday, October 19

Di Lengang Kamarku


Di lengang kamarku,
Kurasa kangen ini segelas kopi
Berbaur hangat dan wangi seduhan
Pahit yang tinggal di setiap tegukan

Di lengang kamarku,
Kurasa kangen ini sebatang sungai
Menghanyut angan sederhanaku; 
Padamu dan segala yang manis tentangmu

Sorong, 191013 - Awal Hari

Friday, October 11

Nocturnal



Dan malam berangsur lengkap. Kembali, usia tanggal sehari
Kita pun sejenak rebah; merumuskan mimpi
Sembari menanti segala yang mungkin diusung pagi


(091013- Awal Hari)

Sunday, September 29

Perempuan yang Setia Menatap Laut


Setiap leleh senja. Saat jingga tercipta di akhir cahaya
Bayang rebah. Udara redup
Dan sirine kapal serupa terompet kerang sayup sampai
Dia akan duduk di titian tangga
Tangga yang kusam berlumut
Tangga batu di pinggang bukit berkabut
Seperti terpisah dari hidup. Menatap laut

Didekapnya dua kaki dalam hening pertapa
Pada lututnya dagu bertopang
Di jemarinya beledu sekuntum kembang
Dengan tubuh serapuh daun pandan
Dengan rambut menggerai aroma hutan

Pandangnya jauh
Pandangnya jauh
Menembusi kian rapatnya kelambu hari
Mengabaikan erang angin dan daun jatuh
Menyusuri garis langit dan laut bersentuh

Kenangnya jauh
Kenangnya jauh
Pada ketika sebuah cadik
Jadi noktah yang hadir mencabik
Larik lengkung cakrawala hari senja
Senja yang biasa
Serupa ratusan senja yang pernah dijumpainya

Menyibak riak
Tertambat cadik di pantai menepi
Hantarkan kaki kukuh tembaga
Kecup aroma tembakau
Sepasang mata bianglala
Juga senyum yang meringkus purnama
Untuknya,
Terasa hanya untuknya

Sauh pun tertanam di lumpur dalam
Dongeng hanyalah takdir yang menanti didedahkan
Pulau perawan rimba basah
Bunga dan ilalang pematang sawah
Menggoda bermimpi tentang bebiji
Bertumbuh lahirkan tunas baru
Bungabunga dan harum kayu
Bumi dan surga pun terkuak tirainya

Hingga pada sebuah senja
Juga senja yang terasa sama
Sauh pun diangkat tergesa
Angin hadir, ombak datang
Teduh rimba tak mampu redakan hasrat bertualang

Ribuan hari jadi gurat di wajah
Ribuan harap berkarat resah
Masih didengarnya
Kecipak dayung menepuk buih
Kelebat layar ditampar angin
Laut gemulung berombak. Cadik kecil berderak
Bayang tinggal di benak kini;
Mimpi itu, masihkah punya arti?

Sempat didengarnya camar berkabar;
Lelaki bermata bianglala
Telah jadi peri penunggang ombak
Pemetik ganggang dan bunga karang
Kukuh kaki tembaganya
Menyerpih ribuan ikan dan lokan

Tapi siapa kuasa merampas angan?
Sementara hati
Selalu memiliki hukum dan bahasanya sendiri

Dihembusnya nafas
Dikebasnya cemas
Perempuan masih menatap laut
Selalu laut
Seakan ia muasal hayat
Arah damba dan doa terpanjat

Bergetar bilah bibir kelopak mawar
Jantung membuncah di isak suara
Membisik bagai gerimis ricik
Sebuah nama yang perlahan menjelma mantra


Mkw, Agustus-September 2013

Sunday, September 22

Kusebut Ini Sebagai Rindu



Kusebut ini sebagai rindu;
Yang mengajak kembali setelah sekian waktu

Jalanan itu masih seperti dulu. Seperti berkali kita menapakinya
Hanya trotoar yang mulai rombeng. Dikoyak cuaca
Sepi. Manusia melintas sesekali
Di beberapa sisi. Berserak gugur daun mahoni
Kusam papan iklan. Temaram tembaga lampu jalan
Menggigil basah dahan. Keriput kulit pohonan
Malam meruahkan aroma hujan

Lagi, lintas di sini. Dan teringat malam-malam pernah lewati
Bergayut lengan, bertaut mimpi
Melangkah bersisihan. Endapkan resah yang buncah
Atau sekadar maknai hari yang lelah

Seperti biasa, engkau yang akan lebih banyak cerita
Sedang bagiku selalu lebih menarik mendengarmu bicaraMenikmati setiap kata yang kau cipta
Memunguti mantra dari alam paling rahasia
Bibirmu kan bergerak wajar. Mata meruahkan binar
Sesekali gema tawamu, seperti tak hendak dirampas waktu
Lalu tanpa setahumu. Diam-diam doaku;
Gusti, beri tahu aku
Bagaimana memahat segala indah itu?

Malam itu, udara beku. Hujan baru saja lalu
Di rambutmu helai-helai gerimis menepi
Mencipta kerlip sesekali.
Kurapikan kerah jaketmu. Berharap tak gigil tubuhmu
Berkilat jalanan memantulkan kilau lampu 

“Kau tahu, mengapa tak bosan aku mengajakmu?
Menyusur malam. Meski hanya duduk di lembab bangku taman,
atau malah melangkah tanpa tujuan.”

Menggeleng aku. Menjawab tak tahu
Lalu pura-pura sibuk menebak. Jawab yang akan kau beri padaku

Sejenak engkau memandang kejauhan
Seperti memberiku waktu mengabadikan setiap ucapan

“Sebab malam lebih mampu mencatat
Banyak hal yang sering tak terperhatikan
Suara-suara yang terbiasa lindap teredam
Segala yang mudah raib diam-diam.”

Malam itu. Tak pernah lerai genggammu
Berbagi hasrat. Atau isyarat?

Di temaram jalan, sepenggal angin melintas
Mengombak anak rambutmu. Menyapu pucat bibirmu
Kau ajak sejenak henti
Merapatkan tubuh. Hangat merasuki liang hati
Berangsur malam jadi selengang candi

Hidup hanya rajutan kisah, katamu
“Dan aku ingin kau tahu, kisah paling berhargaku adalah tentangmu.”
Menatapku, lantas seperti berbisik ucapmu,
“Aku ingin, begitu pun aku bagimu…”
Kemudian tertawalah kamu,
Berdenting bagai gelas pecah di batu
Kemudian tertawalah aku,
Berkata; engkau pasti sedang menggombaliku

Begitu ringkas, detik tanggal meranggas
Lalu musim merampas apa yang sisa;
Serpih-serpih bisik, tangis dan tawa
Hal-hal sederhana yang jadi dongeng bersama

Barangkali benar, inilah hidup rupanya
Seperti ucapmu; hanya rajutan kisah
Teranyam bilah kata dan rasa
Berseling merah hitam hijau jingga    
Tak kenal umpama. Tak ada ulang cerita
Bergelut seolah merumuskan sejarah
Sekadar ikhtiar menunda kalah

Lalu sesekali rindu. Bercermin manik matamu
Lalu sesekali kenang
Berderap mengarak merayu pulang



Bandung, Mei-Juni 2013