Kusebut
ini sebagai rindu;
Yang
mengajak kembali setelah sekian waktu
Jalanan
itu masih seperti dulu. Seperti berkali kita menapakinya
Hanya
trotoar yang mulai rombeng. Dikoyak cuaca
Sepi.
Manusia melintas sesekali
Di
beberapa sisi. Berserak
gugur daun mahoni
Kusam papan iklan. Temaram
tembaga lampu jalan
Menggigil basah dahan. Keriput kulit pohonan
Malam
meruahkan aroma hujan
Lagi, lintas di sini. Dan
teringat malam-malam pernah lewati
Bergayut
lengan, bertaut mimpi
Melangkah
bersisihan. Endapkan resah yang buncah
Atau
sekadar maknai hari yang lelah
Seperti biasa, engkau yang akan lebih banyak cerita
Sedang bagiku selalu lebih menarik mendengarmu bicaraMenikmati
setiap kata yang kau cipta
Memunguti mantra dari alam paling rahasia
Bibirmu kan bergerak wajar. Mata meruahkan binar
Sesekali
gema tawamu, seperti tak hendak dirampas waktu
Lalu
tanpa setahumu. Diam-diam
doaku;
Gusti, beri tahu aku
Bagaimana memahat segala indah itu?
Malam
itu, udara beku. Hujan
baru saja lalu
Di rambutmu helai-helai gerimis menepi
Mencipta kerlip sesekali.
Kurapikan
kerah jaketmu. Berharap tak gigil tubuhmu
Berkilat
jalanan memantulkan kilau lampu
“Kau
tahu, mengapa tak bosan aku mengajakmu?
Menyusur malam. Meski hanya duduk di lembab bangku taman,
atau
malah melangkah tanpa tujuan.”
Menggeleng
aku. Menjawab tak tahu
Lalu pura-pura sibuk menebak. Jawab
yang akan kau beri padaku
Sejenak engkau memandang kejauhan
Seperti
memberiku waktu mengabadikan setiap ucapan
“Sebab
malam lebih mampu mencatat
Banyak
hal yang sering tak terperhatikan
Suara-suara
yang terbiasa lindap teredam
Segala
yang mudah raib diam-diam.”
Malam
itu. Tak pernah lerai genggammu
Berbagi
hasrat. Atau
isyarat?
Di
temaram jalan, sepenggal angin melintas
Mengombak
anak rambutmu. Menyapu
pucat bibirmu
Kau
ajak sejenak henti
Merapatkan
tubuh. Hangat
merasuki liang hati
Berangsur malam jadi selengang candi
Hidup
hanya rajutan kisah, katamu
“Dan
aku ingin kau tahu, kisah paling berhargaku adalah tentangmu.”
Menatapku,
lantas seperti berbisik ucapmu,
“Aku
ingin, begitu pun aku bagimu…”
Kemudian
tertawalah kamu,
Berdenting
bagai gelas pecah di batu
Kemudian
tertawalah aku,
Berkata;
engkau pasti sedang menggombaliku
Begitu
ringkas, detik tanggal meranggas
Lalu
musim merampas apa yang sisa;
Serpih-serpih
bisik, tangis dan tawa
Hal-hal
sederhana yang jadi dongeng bersama
Barangkali
benar, inilah hidup rupanya
Seperti
ucapmu; hanya rajutan kisah
Teranyam
bilah kata dan rasa
Berseling
merah hitam hijau jingga
Tak
kenal umpama. Tak
ada ulang cerita
Bergelut
seolah merumuskan sejarah
Sekadar ikhtiar menunda kalah
Lalu
sesekali rindu. Bercermin
manik matamu
Lalu
sesekali kenang
Berderap
mengarak merayu pulang
Bandung, Mei-Juni 2013