Wednesday, April 24

Menatapmu




Menatapmu, tiba-tiba ingin kutulis sesuatu. Sebentuk sajak sederhana. Atau surat yang tak harus kau tahu isinya. Semacam riwayat tanpa penanda waktu; kau-aku pernah bertemu.

Satu-satu, kupungut kata. Hati-hati kusematkan pada bidang tanpanama. Tentangmu. Meski nantinya mungkin bukan buatmu. Entahlah. Barangkali memang bukan untuk siapa pun. Untai kata itu; rasanya bahkan angin pun tak perlu tahu.

Benar, tak ada yang terlalu istimewa. Hanya tak ingin menganggap semua sekadar sebagai sia-sia; segala jerit tanpa suara; jejala nasib yang selalu saja rahasia. Atau anggaplah sekadar polah kekanakanku, yang tak bisa biasa menerima segala tentangmu.

Nanti, setelah kata itu lengkap kutata, getar berangsur reda, segera akan kularung ia di arus waktu. Begitu rencanaku.

Kemudian tak perlu ada tanya; ke mana arus itu akan membawa. Lagipula tak akan banyak bedanya; bilakah kelak ia terbenam di lumpur telaga, atau lunglai tersangkut hijau pekat batang padma, atau malah membaur serbuk bunga setepi telaga. Percaya saja; waktu lebih tahu ke mana akan membawanya; di mana mesti menempatkannya


Bogor; 101212