Monday, December 31

Fragmen (3)


Dalam senyap senja tawar
Dan tembaga langit yang bergetar
Berbisik dahan kepada daun; 
          Tak akan kutahan lagi, meski ingin
          Bertahun memelukmu, kurasa rindumu akan tualang baru
          Telah kutuntaskan setiap janji
          Sedayaku, kugenapi segala yang harus digenapi
          Barangkali kini waktunya bagimu
          Menyusur batas-batas kodratmu 

Daun menjawab dahan; 
          Selalu kunantikan saat seperti ini
          Lerai darimu, saat matamu masih untukku
          Bertahun di pelukmu, kupahamkan makna berbagi dan menyempurnakan
          Aku tahu, semua itu akan membuatku rindu
          Tapi esok adalah hari yang baru lagi
          Embun dan angin masih akan mampir sesekali
          Lagipula kita sama mengerti; hanya soal waktu
          Sebelum aku menjelma tunas baru 

dari langit selatan
burung berarak pulang sarang
lalu bayang berangsur hilang
diregam remang




Jkt, 271212

Monday, November 5

Di Stasiun Tugu




1
Di Stasiun Tugu. Menanti tiba waktu. Diam, larut dalam semedi bangku-bangku 
Malam belum lagi utuh. Selajur jingga tersisa di langit jauh
Terang surut. Berangsur luluh bayang-bayang suram, gerak rupa berpaut dalam kelam
Lelampu mulai menyala. Angin berjingkat tergesa
Azan menggema. Getarnya hingga ke dada  

2
Menghirup udara, menampung semampunya. Mata pejam. Pelan nafas kuhembuskan
Di sini, barangkali lengang tak sempat ada. Suara beragam benda, bertabur cakap manusia;
Berebut hidup, bergelut mencari ruang semayam
Tak pernah sepenuhnya sepi. Setiap saat kereta datang dan pergi. Mengular gerbongnya membawa wajah-wajah berganti
Wajah-wajah beragam warna. Wajah-wajah memendam kata; Cerita yang kadang tak terpahami
Senyum itu, tangis itu, sering tak bisa dibagi
Tatap mata itu; Kisah bisu masing-masing hati

3
Menatap sekitar, lalu lalang manusia. Alir penumpang turun dari gerbong kereta
Tak jauh jaraknya, bocah perempuan lelap di peluk ibunya
Dua lelaki tua bercengkrama. Penjaga toliet umum khusyuk menyesap asap rokoknya
Sementara di sudut, terpisah dari ramai, sepasang muda berpeluk
Rapat menyandar di beku bangku besi; seperti memerangkap sepi
Mungkin sedang berbisik tentang rumah mungil di negeri entah
Atau sekadar menikmati waktu sesaat menjelang pisah
Cakap angin tak tertangkap. Muram malam tak cukup menyampaikan isyarat
Lagi, lunas usia sehari. Tak paham ke mana takdir membawa nanti

4
Seorang ibu mendekat. Telah semai uban di kepala, keriput menatah sekitar mata
Senyum, menjajakan minum dan makanan. Bercakap seadanya, kupesan hangat teh manis dan penganan
Kembali wajah-wajah berlintasan, serupa  garis  terlerai paksa dari utuh sketsa
Seperti tercecer, seperti terikat pula
Ada akrab; merasa sesama titik air di satu arus sungai. Ada asing; setiap gerak berada di langgam yang beda
Di sini persinggahan. Cukuplah tatap mata atau sapa sederhana. Sesekali bertukar kisah dan dongengan, sekadar menuntaskan jeda
Hingga datangnya kereta, membawa pada akhir kembara masing-masing kita

5
Kereta tiba. Dua puluh tiga menit terlambat dari jadwal semula
Derak roda melindas rel jalur lima. Lenguhnya meretakkan lapis udara
Kemudian suara; berharap penumpang bergegas masuki gerbong kereta
Tubuh-tubuh beranjak tinggalkan bangku tunggu. Seekor kupu tersesat sinar lampu
Empat jam lebih menunggu. Tiang stasiun tegak kaku.
Berdiri. Lengan kurentangkan. Leher dan kepala meliuk perlahan
Memeriksa tiket keberangkatan; gerbong empat, kursi baris kedelapan
Malam kini sempurna. Pekat sampai di puncaknya. Terasa di kulit wajah, udara menyimpan basah
Barangkali hujan turun sesaat lagi. Menghapus kerontang, menyiramkan harap di bumi

6
Menepi di kursi sisi jendela. Dalam gerbong dunia sendiri
Wajah-wajah asing, asik dengan keruwetan masing-masing
Tak ada kericuhan. Setiap penumpang seperti sama mengerti di mana tubuh mesti  disandarkan
Nomor-nomor kursi itu telah dipastikan, nyaris tanpa pilihan; serupa takdir disematkan di badan
Pernah kudengar, takdir manusia telah ditentukan berabad sebelum kelahiran
Tercatat. Dari detik pertama dua sel dipertemukan. Hingga kali terakhir jantung didetakkan
Mungkinkah takdir berganti? Tak mungkinkah manusia terlibat dalam penentuan lahir, hidup, dan mati?
Bukankah penumpang kereta ini pun kadang bersedia bertukar nomor kursi?
Gerak di luar jendela, menjelma film bisu pengantar tidur malam hari
Senyap merambat dada; akankah tuntas perjalanan ini?

7
Beranjak kereta, berdesah tinggalkan stasiun kota. Pendar lampu membias di lembab kaca jendela
Halus titik embun sedikit memburamkan jernihnya
Kosong kursi di sisi. Tak terisi. Kawan seiring tiada di sini
Barangkali di stasiun berikut ia sedang menanti. Mungkin memang tak akan pernah ada penghuni
Hidup serupa laju kereta. Rangkaian gerbong berarak sarat cerita. Sedang kawan seiring tak gampang diduga
Kadang ia telah lebih dulu ada, menanti di kursi kereta. Bersama sejak keberangkatan di stasiun pertama
Namun tak jarang ia hadir di stasiun-stasiun antara. Stasiun-stasiun di serentang jalan kita
Kadang ia temani menuntaskan gulir roda, hingga tiba di stasiun terakhir
Tak jarang ia mendahului turun sebelum perjalanan berakhir
Seakan hanya soal waktu; siapa berpamit lebih dulu
Udara beku. Gelap di seberang kaca, sesekali kerlip lampu
Kereta melaju. Tiang kaku dan deret bangku Stasiun Tugu, segera jadi cerita lalu


Yogya-Bdg, akhir Oktober 2012

Saturday, October 27

Gurat 02



Setiap detik kita lahirkan kata. Kadang diiringi bangga karena anggapan bahwa ada yang istimewa di dalam setiap butirnya, dan karenanya – menurut kita – perlulah setiap mata, telinga dan jiwa manusia menjadi saksi kehadirannya. 

Meski mungkin kita juga sama paham, kebanggan semacam itu senantiasa memuat problem, mungkin juga gugatan. Setidaknya, ada yang tak tuntas terjawab; Jangan-jangan sekadar anggapan? Namun tak jarang juga, kata lahir karena terpaksa. Karena desakan tak terlawan atau tiadanya lain pilihan. Pada kondisi semacam ini, kata terlahir serupa bayi-bayi yang tak dikehendaki, yang mewujud ke bumi untuk sekadar menjadi tampungan benci.  

Yang sering tak kita sadari, entah beriring bangga, entah karena terpaksa, setiap kata yang terlanjur lahir ternyata memiliki gerak hidupnya sendiri. Selepas ia dari kita, ia akan menyerap daya di luar sangka dan kuasa kita. Ia tak lagi sepenuhnya milik kita. 

Berapa usia sebuah kata? Di mana ia – pada akhirnya – bermuara? 

Kita tak pernah tahu. Setiap kata yang melintas di hati, di pikiran, di tulisan, juga – terutama – di lisan itu; Akankah sekadar jadi butiran debu yang segera raib diurai waktu, atau malah berbiak melintas batas, mengendap berdenyut di ribuan kalbu – entah sebagai kekayaan jiwa atau justru bibit luka yang kita tak pernah tahu kapan hapusnya. 



Sukoharjo, 261012

Friday, September 21

Unggun


Lagi kita di sini, meriung melingkar di terang api. Dipertautkan hasrat, mungkin juga cita dan mimpi. Atau sekadar ketakutan masing-masing pada sepi… ?
“Hanya di sini, aku tak pernah merasa benar-benar sendiri,” katamu
Sedang aku hanya bisa membisu; seperti yang lalu, terpukau manik matamu.

Resah angin merambati daun. Sehelai jatuh di pangkuan. Kabut turun meluruhkan embun. Embun kesekian, dalam rentang perjalanan. 
Bertahun sudah, apa yang berubah?

Basah rumputan dikilau cahaya; basah kita di naung langitnya. Memucat kulit kita, menahan gigil udara. Sementara sesekali suara; titik air yang hilang rupa. Malam telah benar larut…

Dan kembali kisah terbaca. Kisah lama yang tak tuntas terselami. Belum barangkali.
“Apa yang buatmu kembali?” tanyamu
Entahlah, mungkin kepercayaan pada hati …

Tanpa kata, kemudian kau tarik aku, bergeser merapat ke nyala bara. Api itu sempurna menunaikan tugasnya. Melumat ranting dan dahan; mencipta terang, ikhtiar menghalau beku yang datang. Kacau emas liuknya; menari bayangan kita.

Kutatap parasmu. Tak lama. Tempias api unggun di mata. Perlahan pandang bertaut dalam harap dan doa; selintas usia, semoga tak raib dalam perih dan hampa semata.

Tersenyum kita; entah untuk apa, entah untuk rasa yang mana. Hanya perlahan kurasa hangat merambat di dada.


Baturraden, 150912

Wednesday, September 19

Gurat 01


Ada waktunya, ingatan mesti direbahkan. Kenang didamaikan meski dalam perih diamdiam. Dan kita dipaksa mengakui segala yang selayaknya diakui, merengkuh kenyataan yang takkan pernah terhindari; mengakrabi takdir, meski getir. Konon, begitu kehidupan mendidik kita, jadi dewasa di genggam-Nya. Tapi tak di saat ini, di tempat ini.

Ada yang mesti kita relakan hanyut seturut kecipak waktu. Terlarung bagai guguran daun terapung menuju entah. Belajar melepaskan tuk mendapatkan. Melebur tuk menemukan. Tapi ternyata tak pernah sederhana, terlebih untuk segala tentangmu. Tak saat ini, di tempat ini.

Terlanjur terbiasa regam jemari hangat, tawa memendar relung nadi sepanjang hayat. Tembok tua dan bangku kayu, menggigil rindu wangi tubuhmu.

Detik tanggal, angin suruk terdampar; meraba kusam jendela, meraba rasa dalam asing sempurna. Senyap tiba. Sementara benam matahari hanya penegas benderang dan pekat betapa rekatnya.

Kini lengkap sudah temaram. Lampulampu mulai dinyalakan, penat disandarkan. Sedang kisah purba di jantung berlintasan. Maka meski sejenak, hanya ingin sejenak, ijinkan kembali embun rekah di mata. Sebelum terbit pagi pertama, dan jejakjejak baru menunggu dicipta.

Pwt-Bdg, 160912

Sunday, September 2

Purnama



Purnama jadi hilang arti, sejak benderang lelampu merajang kelam malam hari. Pun di kota ini. Tak lagi ada sorak riang bocah-bocah bermain di pelataran, bungah bermandi terang purnama. Tak lagi ada taburan bunga serta alun mantra para pemuja, sebagaimana cerita berabad lamanya.

Malam telah begitu hingar. Hari-hari terlanjur sesak dengan beragam cakap dan keluhan. Dan bulan tinggal sekeping mata tembaga; pucat, terpencil, beku tergantung disaput awan yang lewat sesekali.

Barangkali hanya para pemimpi, atau pemburu dan pengeja bahasa-bahasa paling murni, yang masih setia menanti tiba purnama. Semata karena percaya; dalam teduh udara dan lembut larik cahayanya, tersimpan rahasia akan keheningan rasa dan jejaring daya semesta. Atau malah sekadar jiwa-jiwa kasmaran mabuk angan yang mendadak merasa tak utuh sebelum melahirkan sepenggal syair tentang bulan, tentang purnama. 

Masih, bulan terapung seadanya di kusam langit kota; muram rautnya selayaknya lukisan yang gagal rupa. Sementara di bawahnya, kaca-kaca kereta kuyup dilumur air matanya.

  
Tugu, Ujung hari, 010912

Saturday, February 25

Embun


Suatu kali, pernah langit membuka celahnya. Merelakan bebiji  keteduhan lesat melintas
berjuta mereka tinggalkan semesta asal di mana
hangat tak membakar, terang tak menyilaukan, wangi tak menyesakkan
sedang semilir senantiasa menyusup rongga dada dan buluh belulang

Berabad bijibiji  kembara. Meyusuri setiap lekuk langit,
mencecap asin, getir, manis dan pahit
memahami bahasa paling tinggi
menggenggam rahasiarahasia suci

Sebelum kemudian  rebah di tengadah mega
yang berbisik  lembut menahan mereka; Tinggallah sesaat lagi
hari masih terlalu dini. Tidakkah bijak sejenak menunggu tiba matahari?

“Bukan tak ingin berbagi. Pada kami, ada janji yang mesti digenapi
Sedang ada atau tiada matahari, terang selalu bersama kami...”
maka bersayap angin, bijbiji  luruh dalam hening sejati

Menyentuh bumi,
cangkang bebiji retak rekah. Akar terjulur
merambat
meresap di setiap mimpi, meresapi setiap hati
berdaun
berbunga
berbuah
berbiak
hingga setiap tiba pagi
masih kita dengar suara; hidup betapa berarti


Bgr, 250212

Sunday, February 12

Lingsir


ada yang mesti direlakan
aus di antara ketuk dada
lesap bersama lalu ribuan senja

ada yang diam-diam beranjak
meringkus pijar impi kanak
bersijingkat memulas keriput di batang nasib
satu demi satu

sejarah serupa embun
selintas basah di wajah dedaun


pagi kikis kini
emas senja menyepuh pucuk jati
tekukur hinggap selepas kembara sehari
bercakap bahasa peri;
Apa telah dialami
Apa yang menanti

angin sirap. Terang surut
meriap temaram malam muda
sedang rumputan runduk sangsi;
esok, adakah matahari


RBG, 090212

Saturday, February 11

Di Stasiun



menunggu keberangkatan
di stasiun

tersenyum kita. Bayang mata kaca berkaca
saling menanya nama
bercakap sewajarnya tentang langit

bumi dan bungabunga

 

detik tanggal. Hening kekal
udara jadi sewarna api

hingga waktunya lengking kereta
menggetar gema penanda
berderit roda baja. Berdesir juga rongga dada
beradu mata kita menanya;
kereta siapa yang tiba?
 

Tawang, 110212