Saturday, October 27

Gurat 02



Setiap detik kita lahirkan kata. Kadang diiringi bangga karena anggapan bahwa ada yang istimewa di dalam setiap butirnya, dan karenanya – menurut kita – perlulah setiap mata, telinga dan jiwa manusia menjadi saksi kehadirannya. 

Meski mungkin kita juga sama paham, kebanggan semacam itu senantiasa memuat problem, mungkin juga gugatan. Setidaknya, ada yang tak tuntas terjawab; Jangan-jangan sekadar anggapan? Namun tak jarang juga, kata lahir karena terpaksa. Karena desakan tak terlawan atau tiadanya lain pilihan. Pada kondisi semacam ini, kata terlahir serupa bayi-bayi yang tak dikehendaki, yang mewujud ke bumi untuk sekadar menjadi tampungan benci.  

Yang sering tak kita sadari, entah beriring bangga, entah karena terpaksa, setiap kata yang terlanjur lahir ternyata memiliki gerak hidupnya sendiri. Selepas ia dari kita, ia akan menyerap daya di luar sangka dan kuasa kita. Ia tak lagi sepenuhnya milik kita. 

Berapa usia sebuah kata? Di mana ia – pada akhirnya – bermuara? 

Kita tak pernah tahu. Setiap kata yang melintas di hati, di pikiran, di tulisan, juga – terutama – di lisan itu; Akankah sekadar jadi butiran debu yang segera raib diurai waktu, atau malah berbiak melintas batas, mengendap berdenyut di ribuan kalbu – entah sebagai kekayaan jiwa atau justru bibit luka yang kita tak pernah tahu kapan hapusnya. 



Sukoharjo, 261012