Setiap detik kita lahirkan kata.
Kadang diiringi bangga karena anggapan bahwa ada yang istimewa di dalam setiap
butirnya, dan karenanya – menurut kita – perlulah setiap mata, telinga dan jiwa
manusia menjadi saksi kehadirannya.
Meski mungkin kita juga sama paham,
kebanggan semacam itu senantiasa memuat problem, mungkin juga gugatan.
Setidaknya, ada yang tak tuntas terjawab; Jangan-jangan sekadar anggapan? Namun tak jarang juga, kata lahir
karena terpaksa. Karena desakan tak terlawan atau tiadanya lain pilihan. Pada
kondisi semacam ini, kata terlahir serupa bayi-bayi yang tak dikehendaki, yang
mewujud ke bumi untuk sekadar menjadi tampungan benci.
Yang sering tak kita sadari, entah
beriring bangga, entah karena terpaksa, setiap kata yang terlanjur lahir
ternyata memiliki gerak hidupnya sendiri. Selepas ia dari kita, ia akan
menyerap daya di luar sangka dan kuasa kita. Ia tak lagi sepenuhnya milik kita.
Berapa usia sebuah kata? Di mana ia
– pada akhirnya – bermuara?
Kita tak pernah tahu. Setiap kata
yang melintas di hati, di pikiran, di tulisan, juga – terutama – di lisan itu;
Akankah sekadar jadi butiran debu yang segera raib diurai waktu, atau malah
berbiak melintas batas, mengendap berdenyut di ribuan kalbu – entah sebagai
kekayaan jiwa atau justru bibit luka yang kita tak pernah tahu kapan hapusnya.
Sukoharjo, 261012