Wednesday, October 27

Angel



Malam merayap, dan kembali tiada kawan bercakap. Malam kedua, sekaligus malam terakhir di kota ini. Nanti pagi mesti kembali. Melihat jam di sudut layar; 01.10…!! Sedang belum ada tanda-tanda kantuk. Tampaknya akan cukup lama waktu hingga bisa terlelap. Hhmmm… begadang lagi, nih

Tak terdengar cakap manusia, atau tawa satu dua dari kamar-kamar lain sebagaimana malam kemarin. Rombongan atlet sepeda itu telah berangkat pagi hari tadi (berarti sudah harus disebut ‘kemarin’), sekaligus mengangkut semua keriuhan dari tempat ini. Hanya sesekali terdengar lengking kereta. Kebetulan memang tak terlalu jauh dari stasiun.

Kuedarkan pandang. Beberapa meja, kursi, TV, lemari, sofa, cermin-cermin, dan dua tempat tidur. Sangat lengkap, tapi tetap saja tak ada yang bisa kuajak berbagi penat.  Kembali kuperhatikan kamar ini. Kupikir memang terlalu besar untuk ditinggali seorang diri. Mempertegas perasaan terpencil, sepi, sendiri.

Tuesday, October 19

Di Sebuah Senin Yang Tua


Di sebuah Senin yang tua
menyibak jelaga kotamu, 
aku diamuk rindu 

Sepi tak beranjak,
meski berkali matahari
bulan setia mencipta jejak 
(mereka selalu begitu, barangkali ikhtiar meremuk jarak)

Sepi isak
bayang daunan hilang gerak

Maka inilah aku
selinapi sela pijar kunang jalanan kota
mengeja tawamu di sela beku
baris tugu sepanjang jantungku

Detak meruncing meruah tuba
rautmu meluka sisa usia


Jkt-Bdg, 11-181010





Saturday, October 2

Setahun

Setahun lewat, hidup memberat - duka yang sarat.
Maaf, kembali kuusik tenangmu. Ijinkan sejenak coba hadirkan kembali segala yang pernah ada. Meski sepenuhnya sadar, hanya kenang dan rasa (mimpi yang mustahil nyata). Mengecap manis sisa-sisa. Atau perih? Entahlah... hanya ingin sejenak diam, mengenangmu. Tak lebih.

Setahun lewat, kuat hasrat berdekap rapat.
Mestinya, esok pagi adalah peringatan setahun janji diucapkan. Satu tahun; terlalu sederhana dijadikan ukuran pewujudan harapan dan pemenuhan impian  Terlalu singkat berbagi sedih dan kebahagiaan atau bahkan untuk sekadar menguji kesetiaan. Namun sependek apapun itu, setahun adalah juga rentang waktu yang menuntut sepenuh hidup. Karenanya patut dirayakan; pikiran sederhana untuk jiwa sederhana (wajar, memang begitulah kita). Seharusnya saat ini hanya ada syukur dan kebahagiaan (kubayangkan engkau akan sibuk mempersiapkan semacam acara peringatan kecil). Seharusnya...
Tapi siapakah kita hingga mampu menegaskan keharusan-keharusan tentang hidup dan kebahagiaan? Selamanya tak pernah ada keharusan-keharusan sejenis itu. Yang ada adalah harap, hanya harap; semoga semua berjalan sebagaimana yang kita impikan. Kita hanya biduk kecil, Adikku, hanya mampu mencipta laku seturut arus sejarah. Dan - sayangnya - sejarah kita adalah sejarah yang justru tak terbayangkan... tak pernah sudi kubayangkan...

Setahun lewat, tuba berkarat di jantung hayat.
Di hadapan waktu, manusia disadarkan akan kekerdilannya. Di hadapan waktu, hitungan usia kita jadi terasa ganjil; betapa tak memadainya. Namun bahkan hanya dalam rentang yang tampak tak memadai itu, betapa beragam kisah telah ditatah. Dan bagi kita, Adikku, hanya satu tahun dibutuhkan untuk merubah keindahan menjadi sedih tak berkesudahan.

Dan kini, injinkan kembali hadirkan segala yang indah darimu. Mengucap, "Selamat...." untukmu, untuk kita. Sejenak pejam, mengecap manis sisa-sisa. Atau perih? Entahlah... hanya ingin diam, mengenangmu. Tak lebih.

Selalu, semoga kebaikan itu untukmu...

Untukmu...