Kembali harus bersepeda, sendiri mengayuh selepas kerja. Telah sekian
waktu memang aku memilih sepeda sebagai moda transportasiku untuk
berangkat dan pulang dari kantorku.
Kusempatkan melihat langit; pekat. Malam larut. Udara sejuk. Gerimis
telah lama berhenti. “Oke, nyaris sempurna,” pikirku. Aku tak harus
berhujan-hujan seperti beberapa hari sebelumnya. Mungkin hanya jalanan
basah yang akan mengganggu, sebab jalanan yang basah selalu menjanjikan
satu hal; kotornya tas dan pakaian (bagian belakang tubuh) karena
cipratan air dari roda sepeda. Biasanya terpaksa mengayuh dengan agak
sabar, hati-hati, untuk meminimalkan resiko kotornya tas dan pakaian.
Rentang jalan dari kantor ke kost lumayan jauh. Kata beberapa kawan
(yang secara iseng pernah mengukur secara ‘kira-kira’ dengan menggunakan
jarak tempuh di kilometer motor atau mobil) jaraknya sekitar 7 Km. Tapi
selama ini aku menikmati aktivitas
nggowes ini. Dan mendengarkan lagu
adalah salah satu hal yang menambah rileks sepanjang perjalanan.
Maka sebelum mengayuh pedal, kusempatkan mempersiapkan
Handphone dan
headset. Kuaktifkan menu ‘
music‘ di handphone, kupasang
headset baik-baik di telinga. Kupilih lagu, kusesuaikan volume. Kuatur ‘
settings’ dengan mode ‘
repeat current song’. Sebelum kayuhan perdana, kusempatkan menyentuh
handphone di saku celana; “
Play..” Segera…. suara Ebiet G. Ade pun merambati telinga… Kini saatnya mengayuh pedal sepeda.
Buat sebagian kawan di era ini, lagu-lagu Ebiet memang terasa sangat
‘tua’. Wajar… kebanyakan lagu Ebiet digubah tahun 80 atau 90-an. Jadi
memang bisa digolongkan lagu-lagu jadul. Selain itu, tema yang diangkat
dalam lagu-lagu Ebit cenderung mengajak pendengarnya untuk merenungkan
hal-hal yang barangkali agak asingbagi telinga jiwa-jiwa muda zaman ini.
Simaklah lirik lagu semacam “Berita kepada Kawan” yang bertema
kekerdilan manusia di hadapan kuasa alam dan Tuhan. Lagu Ebiet yang
diawali dengan lirik “
Perjalanan ini.. Terasa sangat menyedihkan…” ini lagu yang seakan jadi
backsound wajib setiap ada berita bencana alam yang disiarkan televisi-televisi di negeri ini. Lagu-lagu semacam “
Untuk Kita Renungkan“, “
Kupu-kupu Kertas“, atau juga “
Aku Ingin Pulang” juga tak jauh berbeda, selalu menyoal tentang hal-hal yang barangkali agak terlalu serius untuk usia remaja.
Selain itu, diksi (pilihan kata) yang digunakan dalam lirik-lirik
lagu Ebiet memang bukan diksi yang umum digunakan dalam bahasa
percakapan sehari-hari. Simaklah lirik lagu populernya semacam “
Coba engkau katakan padaku/ apa yang seharusnya aku lakukan/ bila larut tiba, wajahmu terbayang/ kerinduan ini semakin dalam” (Nyanian Rindu), “
Dia,
Camelia/ Puisi dan pelitaku/ kau sejuk seperti titik embun membasah di
daun jambu/ di pinggir kali yang bening/ Sayap-sayapmu kecil lincah
mengepak/ seperti burung camar hinggap di atas tiang sampan” (Camelia I), atau “
Lolong
burung malam di rimba/ Melengking menyayat jiwa/ Tangis kami pecah di
batu/ duka kami remuk di dada/ Doa kami bersama-sama untukmu” (Rembulan Menangis). Lagu-lagu tersebut dapat menjadi gambaran betapa cermat Ebiet menyusun lirik.
Aku cenderung menyukai lagu yang tak ‘meledak-ledak’. Dan lagu-lagu
Ebiet memang begitu. Masih ingat pertama kali mengenal lagu Ebiet
adalah ketika masih SD melihat (dan mendengar) lagu “
Mumpung Masih Ada Waktu”
di acara Album Minggu-nya TVRI (waktu itu memang hanya ada TVRI di
televisi para tetangga di kampungku). Dan segera saja aku hapal
penyanyi satu ini. Meski secara penampilan sosoknya tak istimewa, namun
menurutku justru memiliki kekhasan yang membuatnya gampang di ingat.
Kelak, ketika SMP dan terutama SMA, lirik-lirik lagu Ebiet adalah salah
satu referensi awalku mencintai puisi. Buatku sendiri, lagu-lagu Ebiet
memang semacam musikalisasi puisi.
Maka sambil mengayuh pedal sepeda, kusimak lirik lagu berjudul “Seraut Wajah”:
Wajah, yang selalu dilumuri senyum
Legam tersengat terik matahari
Keperkasaannya tak memudar
Terbaca dari garis-garis di dagu
Waktu telah menggilas semuanya
Ia tinggal punya jiwa
Pengorbanan yang tak sia-sia
Untuk negeri yang dicintai, dikasihi
Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
Bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah
Wajah yang tak pernah mengeluh
Tegar dalam sikap sempurna
Pantang menyerah……
Seperti juga banyak lagu Ebiet yang lain, “Seraut Wajah” memiliki
lirik yang – menurutku – indah. Menurutku, dalam hal lirik/syair,
lagu-lagu Ebiet memang mampu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia ternyata
bisa memberi efek yang unik.
Lirik lagu “Seraut Wajah” ini. Sederhana, namun bernas. Beberapa kata
mungkin memang terasa klise dan berwarna agitatif (misalnya saja
ungkapan “
mempertahankan setiap jengkal tanah” atau “
pantang menyerah”). Namun secara umum tak mengurangi kenikmatan mendengar lagu itu.
Nada yang dirangkainya pun terasa nyaman di telinga. Dilantunkan
dengan suara yang kadang datar menyentuh, kadang melengking – khas
Ebiet. Menjungkir-balikkan gambaran suasana “perjuangan” yang selama ini
jamak dikenal; bahwa yang namanya ‘perjuangan’ itu mesti berisik,
bergolak, dan “penuh darah”. Tak seperti lagu-lagu ‘patriotik’ lainnya,
Ebiet membungkus pesan ‘cinta negeri’ dan semangat heroisme itu dalam
aluran musik yang lembut dan “teduh” di lagu “Seraut Wajah” ini. .
Menilik isi syairnya, lagu “Seraut Wajah” ini merupakan penghargaan Ebiet untuk para pahlawan negeri ini; mereka yang ‘
ikhlas demi langit bumi’,
tak kenal menyerah menyumbangkan peran demi kebaikan bersama. Ya, para
pahlawan yang sebenar-benarnya pahlawan. Bukan pahlawan yang dipaksakan,
apalagi sengaja diaju-ajukan para pejabat daerah (atau keluarga, atau
kelompok, atau lembaga) untuk pameran peran.
Lebih khusus lagi, lagu ini mungkin semacam ode untuk para veteran yang telah berbakti di medan perang. Mereka yang telah “
merelakan tangan dan kaki”, yang telah rela mengucurkan “
darah dan keringat” untuk “
mempertahankan setiap jengkal tanah”.
Sayangnya, aku sendiri tak pernah kenal secara pribadi dengan para
pahlawan semacam itu, jadi agak sukar membayangkan sosok ‘pahlawan’ yang
bisa lebih representatif menggambarkan tokoh pemilik seraut wajah di
syair lagu tersebut. Kalaulah ada gambaran tentang para pejuang perang
semacam itu, paling hanya kesan yang kudapat dari membaca buku, menonton
film, atau melihat gambar dan lukisan. Dampaknya, pemaknaan terhadap
isi lagu itu – mungkin – jadi tak terlalu sejalan dengan pesan awal
ketika lagu itu dibuat.
Aku hanya pernah mengenal beberapa orang sederhana, mungkin lebih
tepat disebut jelata, yang selama ini berada di sekitarku, yang
menurutku memiliki hal-hal yang layak kuingat. Aku hanya pernah melihat
beberapa “raut wajah” yang kebetulan kutemui dalam tumbuh kembangku
sebagai pribadi, yang meninggalkan kesan tersendiri karena kurasa mampu
menggambarkan sejenis semangat yang menurutku berharga dalam hidup.
Kepada merekalah penghargaanku tumbuh. Kepada mereka sering secara
sewenang-wenang kuberikan sebuah sebutan; pahlawan.
Maka mendengar khusuk suara Ebiet melantunkan “Seraut Wajah”, di
benakku justru hadir bayangan orang-orang seperti Yu Mar yang pedagang
jajanan keliling di kampusku sewaktu kiliah, Kang Parno yang penjual di
warung angkringan yang jadi kawan guyonan sewaktu masih jadi mahasiswa,
juga banyak sahabat lain yang memang kutemui di lintasan hidupku.
Menyinak syair lagu Ebiet ini, berlintasan di pikiranku; gambar petani
dan nelayan renta yang masih harus tetap bekerja, para TKI, ibu-ibu
pedagang di pasar tradisional, tukang sapu jalanan, pengangkut sampah di
gang-gang perumahan, guru-guru di daerah pedalaman, para penjual jamu
gendong, penjahit sol sepatu keliling, seniman-seniman tradisional yang
paceklik pentas, sopir-sopir tua yang masih harus melintas jalanan di
malam buta, juga pemulung di pemukiman-pemukiman yang darurat.
Mereka yang menurutku jarang sekali dibicarakan, yang tak terlalu
mendapat perhatian, meski peran mereka sering tak terbantahkan.
Setidaknya, menurutku, mereka telah membumikan arti pahlawan agar lebih
mudah kugapai dan kuresapi.
Aku sendiri percaya, kesempatan berbuat hal besar tak selalu ada.
Hanya sedikit di antara manusia yang memiliki kemampuan dan
berkesempatan berbuat hal-hal besar, berpengaruh, dan pantas dicatat
dalam dokumen sejarah. Dan jelas.. aku bukan salah satunya. Namun
kesempatan melakukan hal-hal yang berharga untuk orang-orang di sekitar
kita selalu ada setiap waktu. Meski mungkin tampak sederhana, sepele,
namun – menurutku – toh tetap memiliki guna.
Kata orang, ibarat tumpukan kartu, sejarah cenderung melihat (dan
mengingat) kartu di tumpukan paling atas. Karena kebetulan gambar kartu
itu yang secara jelas terpampang. Kita sering lupa, gambar paling atas
dalam tumpukan kartu itu selalu meniscayakan setumpuk kartu lain yang
‘mendukung’-nya. Hanya saja, karena tertutup dalam timbunan,
‘kartu-kartu’ pendukung ini tak pernah kita kenali secara akrab. Kalau
mau berpikir agak fungsional, hilangnya sebuah kartu berarti tidak
lengkapnya satu set kartu, yang membuatnya tak akan bisa dimainkan
sebagaimana seharusnya.
Bagiku, sosok-sosok yang kubayangkan saat mendengar lagu “Seraut
Wajah” tadi mirip rumpukan kartu tak dikenal itu. Ada, nyata, namun tak
tercatat. Tak diingat, sebab gambar mereka tak terpampang di permukaan.
Tentu saja bukan karena aku sok-sok berjiwa proletar atau anti kemapanan
ketika aku lebih suka membayangkan sosok-sosok ‘manusia pinggiran’ itu
sebagai manusia yang “layak diingat”. Sebab aku yakin, banyak tokoh
kaya, sukses, dan berkuasa yang juga layak dihargai. Banyak di antara
manusia yang “mapan” itu jelas layak menyandang predikat pahlawan juga,
karena telah menyumbangkan segala yang berharga kepada hidup dan
kehidupan. Hanya saja – kebetulan – aku memang tak banyak mengenal
manusia jenis ini.
Sedari lahir, manusia yang banyak kutemui adalah justru jenis
‘manusia pinggiran’, yang menjalani hidup sering dengan rasa waswas dan
prihatin. Namun, di sosok-sosok merekalah sering kutemukan hal-hal
mencengangkan yang membuatku lebih menghargai hidup dan kemanusiaan. Tak
aneh bila wajah-wajah merekalah yang justru muncul ketika aku
membayangkan sosok manusia-manusia yang – selalu – pantas dihargai
lebih. Raut-raut wajah mereja hadir mencipta rangkaian, semacam film
yang diputar berurutan. Dan di ujung rangkaian wajah itu, hadir dua raut
wajah; Bapak dan Simbok.
Wajah ‘
yang selalu dilumuri senyum’, yang
‘legam tersengat matahari’, dengan ‘
keperkasaan yang tak memudar’. Mereka yang tak pernah banyak menuntut. Yang ‘
tak pernah mengeluh’, meski terasa ‘
waktu telah menggilas semuanya’, meski kini mereka seakan-akan ‘
tinggal punya jiwa’. Siapa lagi yang mendekati semua gambaran itu bagiku, selain Bapak dan Simbok?
Dengan bahasa apa pun, dengan ungkapan macam apa pun satu hal tak
terbantah; mereka adalah pahlawan sebenarnya dalam hidupku. Dengan
segala kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri mereka, pada
sosok keduanya kudapatkan penghayatan yang lebih khusuk saat memaknai
manusia-manusia bergelar pahlawan.
Perlahan tumbuh rindu, diam-diam terbit haru. Satu-satu kalimat itu
lahir di hati, “Terima kasih untuk semua yang telah, sedang, dan akan
kalian lakukan buatku. Kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan selalu
buat kalian. Semoga senantiasa dalam petunjuk dan lindungan Tuhan…”