Monday, November 5

Di Stasiun Tugu




1
Di Stasiun Tugu. Menanti tiba waktu. Diam, larut dalam semedi bangku-bangku 
Malam belum lagi utuh. Selajur jingga tersisa di langit jauh
Terang surut. Berangsur luluh bayang-bayang suram, gerak rupa berpaut dalam kelam
Lelampu mulai menyala. Angin berjingkat tergesa
Azan menggema. Getarnya hingga ke dada  

2
Menghirup udara, menampung semampunya. Mata pejam. Pelan nafas kuhembuskan
Di sini, barangkali lengang tak sempat ada. Suara beragam benda, bertabur cakap manusia;
Berebut hidup, bergelut mencari ruang semayam
Tak pernah sepenuhnya sepi. Setiap saat kereta datang dan pergi. Mengular gerbongnya membawa wajah-wajah berganti
Wajah-wajah beragam warna. Wajah-wajah memendam kata; Cerita yang kadang tak terpahami
Senyum itu, tangis itu, sering tak bisa dibagi
Tatap mata itu; Kisah bisu masing-masing hati

3
Menatap sekitar, lalu lalang manusia. Alir penumpang turun dari gerbong kereta
Tak jauh jaraknya, bocah perempuan lelap di peluk ibunya
Dua lelaki tua bercengkrama. Penjaga toliet umum khusyuk menyesap asap rokoknya
Sementara di sudut, terpisah dari ramai, sepasang muda berpeluk
Rapat menyandar di beku bangku besi; seperti memerangkap sepi
Mungkin sedang berbisik tentang rumah mungil di negeri entah
Atau sekadar menikmati waktu sesaat menjelang pisah
Cakap angin tak tertangkap. Muram malam tak cukup menyampaikan isyarat
Lagi, lunas usia sehari. Tak paham ke mana takdir membawa nanti

4
Seorang ibu mendekat. Telah semai uban di kepala, keriput menatah sekitar mata
Senyum, menjajakan minum dan makanan. Bercakap seadanya, kupesan hangat teh manis dan penganan
Kembali wajah-wajah berlintasan, serupa  garis  terlerai paksa dari utuh sketsa
Seperti tercecer, seperti terikat pula
Ada akrab; merasa sesama titik air di satu arus sungai. Ada asing; setiap gerak berada di langgam yang beda
Di sini persinggahan. Cukuplah tatap mata atau sapa sederhana. Sesekali bertukar kisah dan dongengan, sekadar menuntaskan jeda
Hingga datangnya kereta, membawa pada akhir kembara masing-masing kita

5
Kereta tiba. Dua puluh tiga menit terlambat dari jadwal semula
Derak roda melindas rel jalur lima. Lenguhnya meretakkan lapis udara
Kemudian suara; berharap penumpang bergegas masuki gerbong kereta
Tubuh-tubuh beranjak tinggalkan bangku tunggu. Seekor kupu tersesat sinar lampu
Empat jam lebih menunggu. Tiang stasiun tegak kaku.
Berdiri. Lengan kurentangkan. Leher dan kepala meliuk perlahan
Memeriksa tiket keberangkatan; gerbong empat, kursi baris kedelapan
Malam kini sempurna. Pekat sampai di puncaknya. Terasa di kulit wajah, udara menyimpan basah
Barangkali hujan turun sesaat lagi. Menghapus kerontang, menyiramkan harap di bumi

6
Menepi di kursi sisi jendela. Dalam gerbong dunia sendiri
Wajah-wajah asing, asik dengan keruwetan masing-masing
Tak ada kericuhan. Setiap penumpang seperti sama mengerti di mana tubuh mesti  disandarkan
Nomor-nomor kursi itu telah dipastikan, nyaris tanpa pilihan; serupa takdir disematkan di badan
Pernah kudengar, takdir manusia telah ditentukan berabad sebelum kelahiran
Tercatat. Dari detik pertama dua sel dipertemukan. Hingga kali terakhir jantung didetakkan
Mungkinkah takdir berganti? Tak mungkinkah manusia terlibat dalam penentuan lahir, hidup, dan mati?
Bukankah penumpang kereta ini pun kadang bersedia bertukar nomor kursi?
Gerak di luar jendela, menjelma film bisu pengantar tidur malam hari
Senyap merambat dada; akankah tuntas perjalanan ini?

7
Beranjak kereta, berdesah tinggalkan stasiun kota. Pendar lampu membias di lembab kaca jendela
Halus titik embun sedikit memburamkan jernihnya
Kosong kursi di sisi. Tak terisi. Kawan seiring tiada di sini
Barangkali di stasiun berikut ia sedang menanti. Mungkin memang tak akan pernah ada penghuni
Hidup serupa laju kereta. Rangkaian gerbong berarak sarat cerita. Sedang kawan seiring tak gampang diduga
Kadang ia telah lebih dulu ada, menanti di kursi kereta. Bersama sejak keberangkatan di stasiun pertama
Namun tak jarang ia hadir di stasiun-stasiun antara. Stasiun-stasiun di serentang jalan kita
Kadang ia temani menuntaskan gulir roda, hingga tiba di stasiun terakhir
Tak jarang ia mendahului turun sebelum perjalanan berakhir
Seakan hanya soal waktu; siapa berpamit lebih dulu
Udara beku. Gelap di seberang kaca, sesekali kerlip lampu
Kereta melaju. Tiang kaku dan deret bangku Stasiun Tugu, segera jadi cerita lalu


Yogya-Bdg, akhir Oktober 2012