Friday, December 17

Di Dermaga

di dermaga
ombak menggerus pantai 
tak putus
meriak pasir 

udara basah
guyah kita melangkah
berjejal mencipta antrian
tiket tanpa nomor keberangkatan
sedang  berita diwartakan angin
jiwa berdenyar; bergumul takjub, gentar, dan ingin
di dermaga
sama menanti tiba bahtera
kembara menuju daratan rahasia
penyempurna lingkar muara dan mula




Bakauheni-Bdg, 141210


Monday, December 13

Jalan Larut di Kota Tua

jalan larut di kota tua
menggigil menyeka hujan sisa
bulan leleh di rumputan 
kersik luruh daunan 
wangi merepih batuan
retak di dada haru purba mendera
tak tertanggung


kayuh kaki tapaki
gulir takdir mengukir 
getir terakhir
yang masih saja rahasia

tiba di kelokan
pucat wajah bangunan
pucatmu menjelma lukisan

embun di mata bayang 
berlintasan peluk penghabisan
di satu pagi tak berangin
saat teraba genggam membeku 
jantung legam membatu
lalu nyeri 
menari di lingkar hayatku



Bdg, 131210, awal hari




Friday, December 10

Sketsa Satu Ketika


pekat malam gerimis
pucat menyulam lengkung dan garis
di kepala:
          kita sama menyusur jalan
          berindap rapat berdekap dinaung ranting
          angin mencipta denting
          rintik menyusup hening
          langit kampung lambung gunung
          ruang mula kisah terhubung
kuingat:
          di setiap persimpangan
          sejenak henti, kita bertatap
          dada berseling gugup dan harap
                    "Akankah mampu?" tanyaku
                    "Apalah mati di danau pandangmu," jawabmu
          lalu senyum, lalu tawa
lalu luka
lalu luka
menyesak kabut kelabu
barangkali akan selalu
mata senyummu; sulur melulur sisa detikku



Bdg, 101210



Wednesday, October 27

Angel



Malam merayap, dan kembali tiada kawan bercakap. Malam kedua, sekaligus malam terakhir di kota ini. Nanti pagi mesti kembali. Melihat jam di sudut layar; 01.10…!! Sedang belum ada tanda-tanda kantuk. Tampaknya akan cukup lama waktu hingga bisa terlelap. Hhmmm… begadang lagi, nih

Tak terdengar cakap manusia, atau tawa satu dua dari kamar-kamar lain sebagaimana malam kemarin. Rombongan atlet sepeda itu telah berangkat pagi hari tadi (berarti sudah harus disebut ‘kemarin’), sekaligus mengangkut semua keriuhan dari tempat ini. Hanya sesekali terdengar lengking kereta. Kebetulan memang tak terlalu jauh dari stasiun.

Kuedarkan pandang. Beberapa meja, kursi, TV, lemari, sofa, cermin-cermin, dan dua tempat tidur. Sangat lengkap, tapi tetap saja tak ada yang bisa kuajak berbagi penat.  Kembali kuperhatikan kamar ini. Kupikir memang terlalu besar untuk ditinggali seorang diri. Mempertegas perasaan terpencil, sepi, sendiri.

Tuesday, October 19

Di Sebuah Senin Yang Tua


Di sebuah Senin yang tua
menyibak jelaga kotamu, 
aku diamuk rindu 

Sepi tak beranjak,
meski berkali matahari
bulan setia mencipta jejak 
(mereka selalu begitu, barangkali ikhtiar meremuk jarak)

Sepi isak
bayang daunan hilang gerak

Maka inilah aku
selinapi sela pijar kunang jalanan kota
mengeja tawamu di sela beku
baris tugu sepanjang jantungku

Detak meruncing meruah tuba
rautmu meluka sisa usia


Jkt-Bdg, 11-181010





Saturday, October 2

Setahun

Setahun lewat, hidup memberat - duka yang sarat.
Maaf, kembali kuusik tenangmu. Ijinkan sejenak coba hadirkan kembali segala yang pernah ada. Meski sepenuhnya sadar, hanya kenang dan rasa (mimpi yang mustahil nyata). Mengecap manis sisa-sisa. Atau perih? Entahlah... hanya ingin sejenak diam, mengenangmu. Tak lebih.

Setahun lewat, kuat hasrat berdekap rapat.
Mestinya, esok pagi adalah peringatan setahun janji diucapkan. Satu tahun; terlalu sederhana dijadikan ukuran pewujudan harapan dan pemenuhan impian  Terlalu singkat berbagi sedih dan kebahagiaan atau bahkan untuk sekadar menguji kesetiaan. Namun sependek apapun itu, setahun adalah juga rentang waktu yang menuntut sepenuh hidup. Karenanya patut dirayakan; pikiran sederhana untuk jiwa sederhana (wajar, memang begitulah kita). Seharusnya saat ini hanya ada syukur dan kebahagiaan (kubayangkan engkau akan sibuk mempersiapkan semacam acara peringatan kecil). Seharusnya...
Tapi siapakah kita hingga mampu menegaskan keharusan-keharusan tentang hidup dan kebahagiaan? Selamanya tak pernah ada keharusan-keharusan sejenis itu. Yang ada adalah harap, hanya harap; semoga semua berjalan sebagaimana yang kita impikan. Kita hanya biduk kecil, Adikku, hanya mampu mencipta laku seturut arus sejarah. Dan - sayangnya - sejarah kita adalah sejarah yang justru tak terbayangkan... tak pernah sudi kubayangkan...

Setahun lewat, tuba berkarat di jantung hayat.
Di hadapan waktu, manusia disadarkan akan kekerdilannya. Di hadapan waktu, hitungan usia kita jadi terasa ganjil; betapa tak memadainya. Namun bahkan hanya dalam rentang yang tampak tak memadai itu, betapa beragam kisah telah ditatah. Dan bagi kita, Adikku, hanya satu tahun dibutuhkan untuk merubah keindahan menjadi sedih tak berkesudahan.

Dan kini, injinkan kembali hadirkan segala yang indah darimu. Mengucap, "Selamat...." untukmu, untuk kita. Sejenak pejam, mengecap manis sisa-sisa. Atau perih? Entahlah... hanya ingin diam, mengenangmu. Tak lebih.

Selalu, semoga kebaikan itu untukmu...

Untukmu...

Sunday, September 26

Dalam Menanti


Sembari menunggu detik yang dijanjikan
kusadap manis
senyummu leleh di tiris gerimis
tak letih menari, anak-anak hujan itu
memercik menampar dahan
melenting di punggung jalan
membaur dalam genang
air yang membasah hari
menuntun pada kenang
bening matamu nyeri

Senja kesekian
sejak penghabisan ucap selamat jalan
sedang rindu tak juga reda
pada hangat dekap, pada renyah tawa
coba beri tahu aku
masihkah lama detik itu?



Bdg, 260910

Saturday, September 18

Biarlah Sama Menunggu


Kembali jejaki kotamu
sedang bulan beku di tubir langitku
seperti pesanmu, telah kusiapkan
seikat mawar, segenggam pasir dan kulit lokan
juga sejumput kabut dan wangi pandan
ingat aku
pinta kau sampaikan sebelum keberangkatan
penghias peraduan, bisikmu
kutatap tinggal sekerat
bulan pucat

Nanti
bila bulan telah benar benam
dan detik melirih dentam
itulah waktu janji ketemu

Kini,
biarlah sama menunggu


Bdg-Jkt, 180919

Sunday, September 12

Selepasmu


I
Selepasmu,
bayang berpijaran sesaki relungku
selincah gerimis menguyup senja
di kota ini
tak mati mati

Tak lagi kugebah
seribu tengkar mendedah kalah
barangkali memang mesti akrabi
ronamu, di hati
tak mati mati

II
Percumbuan begitu singkat
hangatmu mengendap sarat
maka masih
di sini, memintal
wangi yang tinggal
saat bayangmu lintas
di tembok-tembok sunyi
beku jeruji pagar besi
juga basah lelumut jalanan tepi
menggigil, pasi 
sepanjang Surapati


 
                            (Surapati,  hari-hari selepasmu)

Monday, August 30

Hidup, Kehilangan, Iman


-->

Beberapa waktu terakhir, agak akrab dengan lagu sebuah band asal Jogja, Letto, terutama lagu  berjudul "Memiliki Kehilangan". Kupikir lagu ini memiliki tema yang agak 'menyimpang' dari banyak lagu yang saat ini sedang laris di pasaran. Mungkin karena itu juga - setahuku - lagu ini bukanlah lagu unggulan. Namun bukan berarti lagu ini - terutama liriknya - tak layak dinikmati, dirasakan...

Thursday, August 26

Berkaca Bhisma

Merenungkan ketulusan,  juga sikap kukuh menepati ucapan, aku teringat Bhisma.

Bhisma, secuil keheningan dalam drama penuh dendam karya Vyasa; Mahabharata. Kukuh namun teduh. Mengenang sosoknya dalam epos besar itu, seperti bersua telaga setelah berhari kembara di padang gersang.

Sejatinya dialah pewaris sah tahta Astina, kerajaan yang nantinya jadi rebutan Pandhawa dan Kurawa dalam cerita Mahabharata. Sebab Bhisma-lah keturunan langsung Santanu -  raja besar Astina. Bhisma pangeran yang lahir dari permaisuri kerajaan; Dewi Gangga. Namun karena keteguhan pada sumpah, juga karena kesadaran akan pengabdian, ia relakan tahta itu tak pernah jadi miliknya. Meski sebenarnya ia berhak, meski sebenarnya ia mampu - dalam Mahabharata, Bhisma diceritakan termasuk manusia yang memiliki daya dan kekuatan selayaknya dewa. 

Ia tanggalkan peluang hidup bergelimang kejayaan sebagai seorang raja, karena sebuah keinginan yang mungkin terlalu bersahaja bagi banyak orang; kebahagiaan ayahnya.

Wednesday, August 25

Tiba Saatnya


Tiba saatnya
senja hening, langit bening
teduh
tapi sesak
     barangkali karena salam belum tersampaikan
     dan kecupmu hangat tertinggal di angan

Detik merapuh
gemetar tubuh, daun jatuh
di sini segala lalu bersaksi
gerakmu, sembilu matamu
adalah puisi yang bisikkan
rindu penghabisan

Dan
akhirnya
rembang benar datang
malam melengang panjang

     karena salam belum tersampaikan
     dan mimpi mesti diberaikan



Pwt, 280705
(Kukutip untuk mengenangmu) 

Monday, August 23

Selepas Kepergian


Apa yang tersisa dari hidup saat semua yang indah terasa muskil?

Bagimu, mungkin terasa berlebihan mengaitkan segala yang indah (dalam hidup) dengan ada/tiadamu. Bila pun hal ini kuungkapkan padamu, aku bayangkan kamu hanya akan senyum (atau menebar tawa khasmu), lantas berkata, "Lagi kenapa sih, kamu? Kehabisan obat, ya?"

Ya, begitulah kamu. Sederhana dan jujur dalam menatap hidup, meski tak pernah sederhana dalam memperlakukan kehidupan.  Selamanya kamu tetaplah kuat, ceria, dan tak banyak menuntut.

Buatmu, hidup bukanlah hitung-hitungan ruwet yang perlu dipusingkan atau ditakuti. Hidup terlalu bernilai untuk direcoki dengan segala remeh temeh semacam persaingan, pemenuhan ambisi, pengejaran cita-cita sukses, kekayaan materi dan lainnya, yang bagi banyak orang dianggap begitu berharga.

Hidup hanya pantas dijalani, disyukuri, dan dirayakan. Di dalamnya, selalu ada ruang untuk mendulang kebahagiaan dan berbagi keceriaan, meski dalam kondisi sulit yang mungkin tak terbayangkan bagi banyak orang.

Maka waktu buatmu adalah selalu tentang penyempurnaan kebahagiaan bagi mereka di sekitarmu; setia mendengar keluhan kawan, memberi saran saat diperlukan, mengunjungi nikahan, menengok saudara yang melahirkan,  atau bantuan dan pemberian untuk siapa pun yang kau pandang memerlukan. Hampir tak pernah terungkap persoalan-persoalanmu, kesulitanmu, keinginanmu, atau sekadar keluhanmu. Seakan kau dilahirkan memang untuk hanya mewarnai sekelilingmu. Tak berubah sejak pertama bertemu hingga kuantarkan engkau ke rumah terakhirmu.

Catatan 180810


Pertama  
Mencoba lelap di kamar ini, selepas pergimu
Buku-buku, rak kayu, detak jarum kaku
Masai baju dan dinding beku
Lipatan selimut, onggok gitar di sudut
Juga jernih mata bayi
Di potretmu
Mengantar ke sunyi paling sunyi
Di sini,
Coba merasai kembali
Aroma rambut dan hangat tubuh
Memaknai getir tangis dan asin peluh
Saat kau aku di satu waktu

Selalu,
Aku merindukanmu


                                   
  Bdg, Rabu 180810, Akhir hari…