Wednesday, November 30

Seraut Wajah


Kembali harus bersepeda, sendiri mengayuh selepas kerja. Telah sekian waktu memang aku memilih sepeda sebagai moda transportasiku untuk berangkat dan pulang dari kantorku.

Kusempatkan melihat langit; pekat. Malam larut. Udara sejuk. Gerimis telah lama berhenti. “Oke, nyaris sempurna,” pikirku. Aku tak harus berhujan-hujan seperti beberapa hari sebelumnya. Mungkin hanya jalanan basah yang akan mengganggu, sebab jalanan yang basah selalu menjanjikan satu hal; kotornya tas dan pakaian (bagian belakang tubuh) karena cipratan air dari roda sepeda. Biasanya terpaksa mengayuh dengan agak sabar, hati-hati, untuk meminimalkan resiko kotornya tas dan pakaian.

Rentang jalan dari kantor ke kost lumayan jauh. Kata beberapa kawan (yang secara iseng pernah mengukur secara ‘kira-kira’ dengan menggunakan jarak tempuh di kilometer motor atau mobil) jaraknya sekitar 7 Km. Tapi selama ini aku menikmati aktivitas nggowes ini. Dan mendengarkan lagu adalah salah satu hal yang menambah rileks sepanjang perjalanan.

Maka sebelum mengayuh pedal, kusempatkan mempersiapkan Handphone dan headset. Kuaktifkan menu ‘music‘ di handphone, kupasang headset baik-baik di telinga. Kupilih lagu, kusesuaikan volume. Kuatur ‘settings’ dengan mode ‘repeat current song’. Sebelum kayuhan perdana, kusempatkan menyentuh handphone di saku celana; “Play..” Segera…. suara Ebiet G. Ade pun merambati telinga…  Kini saatnya mengayuh pedal sepeda.

Buat sebagian kawan di era ini, lagu-lagu Ebiet memang terasa sangat ‘tua’. Wajar… kebanyakan lagu Ebiet digubah tahun 80 atau 90-an. Jadi memang bisa digolongkan lagu-lagu jadul. Selain itu, tema yang diangkat dalam lagu-lagu Ebit cenderung mengajak pendengarnya untuk merenungkan hal-hal yang barangkali agak asingbagi telinga jiwa-jiwa muda zaman ini.

Simaklah lirik lagu semacam “Berita kepada Kawan” yang bertema kekerdilan manusia di hadapan kuasa alam dan Tuhan. Lagu Ebiet yang diawali dengan lirik “Perjalanan ini.. Terasa sangat menyedihkan…” ini lagu yang seakan jadi backsound wajib setiap ada berita bencana alam yang disiarkan televisi-televisi di negeri ini. Lagu-lagu semacam “Untuk Kita Renungkan“, “Kupu-kupu Kertas“, atau juga “Aku Ingin Pulang” juga tak jauh berbeda, selalu menyoal tentang hal-hal yang barangkali agak terlalu serius untuk usia remaja.

Selain itu, diksi (pilihan kata) yang digunakan dalam lirik-lirik lagu Ebiet memang bukan diksi yang umum digunakan dalam bahasa percakapan sehari-hari. Simaklah lirik lagu populernya semacam “Coba engkau katakan padaku/ apa yang seharusnya aku lakukan/ bila larut tiba, wajahmu terbayang/ kerinduan ini semakin dalam” (Nyanian Rindu), “Dia, Camelia/ Puisi dan pelitaku/ kau sejuk seperti titik embun membasah di daun jambu/ di pinggir kali yang bening/ Sayap-sayapmu kecil lincah mengepak/ seperti burung camar hinggap di atas tiang sampan” (Camelia I), atau “Lolong burung malam di rimba/ Melengking menyayat jiwa/ Tangis kami pecah di batu/ duka kami remuk di dada/ Doa kami bersama-sama untukmu” (Rembulan Menangis). Lagu-lagu tersebut dapat menjadi gambaran betapa cermat Ebiet menyusun lirik.

Aku cenderung menyukai lagu yang tak ‘meledak-ledak’. Dan lagu-lagu Ebiet memang begitu. Masih ingat pertama kali  mengenal  lagu Ebiet adalah ketika masih SD melihat (dan mendengar) lagu “Mumpung Masih Ada Waktu” di acara Album Minggu-nya TVRI (waktu itu memang hanya ada TVRI di televisi para tetangga di  kampungku). Dan segera saja aku hapal penyanyi satu ini. Meski secara penampilan sosoknya tak istimewa, namun menurutku justru memiliki kekhasan yang membuatnya gampang di ingat. Kelak, ketika SMP dan terutama SMA, lirik-lirik lagu Ebiet adalah salah satu referensi awalku mencintai puisi. Buatku sendiri, lagu-lagu Ebiet memang semacam musikalisasi puisi.

Maka sambil mengayuh pedal sepeda, kusimak lirik lagu berjudul “Seraut Wajah”:

Wajah, yang selalu dilumuri senyum
Legam tersengat terik matahari
Keperkasaannya tak memudar
Terbaca dari garis-garis di dagu

Waktu telah menggilas semuanya
Ia tinggal punya jiwa
Pengorbanan yang tak sia-sia
Untuk negeri yang dicintai, dikasihi

Tangan dan kaki rela kau serahkan
Darah, keringat rela kau cucurkan
Bukan hanya untuk ukir namamu
Ikhlas demi langit bumi
Bersumpah mempertahankan setiap jengkal tanah

Wajah yang tak pernah mengeluh
Tegar dalam sikap sempurna
Pantang menyerah……

Seperti juga banyak lagu Ebiet yang lain, “Seraut Wajah” memiliki lirik yang – menurutku – indah. Menurutku, dalam hal lirik/syair, lagu-lagu Ebiet memang mampu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia ternyata bisa memberi efek yang unik.

Lirik lagu “Seraut Wajah” ini. Sederhana, namun bernas. Beberapa kata mungkin memang terasa klise dan berwarna agitatif (misalnya saja ungkapan “mempertahankan setiap jengkal tanah” atau “pantang menyerah”). Namun secara umum tak mengurangi kenikmatan mendengar lagu itu.

Nada yang dirangkainya pun terasa nyaman di telinga. Dilantunkan dengan suara yang kadang datar menyentuh, kadang melengking – khas Ebiet. Menjungkir-balikkan gambaran suasana “perjuangan” yang selama ini jamak dikenal; bahwa yang namanya ‘perjuangan’ itu mesti berisik, bergolak, dan “penuh darah”. Tak seperti lagu-lagu ‘patriotik’ lainnya, Ebiet membungkus pesan ‘cinta negeri’ dan semangat heroisme itu dalam aluran musik yang lembut dan “teduh” di lagu “Seraut Wajah” ini. .

Menilik isi syairnya, lagu “Seraut Wajah” ini merupakan penghargaan Ebiet untuk para pahlawan negeri ini; mereka yang ‘ikhlas demi langit bumi’, tak kenal menyerah menyumbangkan peran demi kebaikan bersama. Ya, para pahlawan yang sebenar-benarnya pahlawan. Bukan pahlawan yang dipaksakan, apalagi sengaja diaju-ajukan para pejabat daerah (atau keluarga, atau kelompok, atau lembaga) untuk pameran peran.

Lebih khusus lagi, lagu ini mungkin semacam ode untuk para veteran yang telah berbakti di medan perang. Mereka yang telah “merelakan tangan dan kaki”, yang telah rela mengucurkan “darah dan keringat” untuk “mempertahankan setiap jengkal tanah”.

Sayangnya, aku sendiri tak pernah kenal secara pribadi dengan para pahlawan semacam itu, jadi agak sukar membayangkan sosok ‘pahlawan’ yang bisa lebih representatif menggambarkan tokoh pemilik seraut wajah di syair lagu tersebut. Kalaulah ada gambaran tentang para pejuang perang semacam itu, paling hanya kesan yang kudapat dari membaca buku, menonton film, atau melihat gambar dan lukisan. Dampaknya, pemaknaan terhadap isi lagu itu – mungkin – jadi tak terlalu sejalan dengan pesan awal ketika lagu itu dibuat.

Aku hanya pernah mengenal beberapa orang sederhana, mungkin lebih tepat disebut jelata, yang selama ini berada di sekitarku, yang menurutku memiliki hal-hal yang layak kuingat. Aku hanya pernah melihat beberapa “raut wajah” yang kebetulan kutemui dalam tumbuh kembangku sebagai pribadi, yang meninggalkan kesan tersendiri karena kurasa mampu menggambarkan sejenis semangat yang menurutku berharga dalam hidup. Kepada merekalah penghargaanku tumbuh. Kepada mereka sering secara sewenang-wenang kuberikan sebuah sebutan; pahlawan.

Maka mendengar khusuk suara Ebiet melantunkan “Seraut Wajah”, di benakku justru hadir bayangan orang-orang seperti Yu Mar yang pedagang jajanan keliling di kampusku sewaktu kiliah, Kang Parno yang penjual di warung angkringan yang jadi kawan guyonan sewaktu masih jadi mahasiswa, juga banyak sahabat lain yang memang kutemui di lintasan hidupku. Menyinak syair lagu Ebiet ini, berlintasan di pikiranku; gambar petani dan nelayan renta yang masih harus tetap bekerja, para TKI, ibu-ibu pedagang di pasar tradisional, tukang sapu jalanan, pengangkut sampah di gang-gang perumahan, guru-guru di daerah pedalaman, para penjual jamu gendong, penjahit sol sepatu keliling, seniman-seniman tradisional yang paceklik pentas, sopir-sopir tua yang masih harus melintas jalanan di malam buta, juga pemulung di pemukiman-pemukiman yang darurat.

Mereka yang menurutku jarang sekali dibicarakan, yang tak terlalu mendapat perhatian, meski peran mereka sering tak terbantahkan. Setidaknya, menurutku, mereka telah membumikan arti pahlawan agar lebih mudah kugapai dan kuresapi.

Aku sendiri percaya, kesempatan berbuat hal besar tak selalu ada. Hanya sedikit di antara manusia yang memiliki kemampuan dan berkesempatan berbuat hal-hal besar, berpengaruh, dan pantas dicatat dalam dokumen sejarah. Dan jelas.. aku bukan salah satunya. Namun kesempatan melakukan hal-hal yang berharga untuk orang-orang di sekitar kita selalu ada setiap waktu. Meski mungkin tampak sederhana, sepele, namun – menurutku – toh tetap memiliki guna.

Kata orang, ibarat tumpukan kartu, sejarah cenderung melihat (dan mengingat) kartu di tumpukan paling atas. Karena kebetulan gambar kartu itu yang secara jelas terpampang. Kita sering lupa, gambar paling atas dalam tumpukan kartu itu selalu meniscayakan setumpuk kartu lain yang ‘mendukung’-nya. Hanya saja, karena tertutup dalam timbunan, ‘kartu-kartu’ pendukung ini tak pernah kita kenali secara akrab. Kalau mau berpikir agak fungsional, hilangnya sebuah kartu berarti tidak lengkapnya satu set kartu, yang membuatnya tak akan bisa dimainkan sebagaimana seharusnya.

Bagiku, sosok-sosok yang kubayangkan saat mendengar lagu “Seraut Wajah” tadi mirip rumpukan kartu tak dikenal itu. Ada, nyata, namun tak tercatat. Tak diingat, sebab gambar mereka tak terpampang di permukaan. Tentu saja bukan karena aku sok-sok berjiwa proletar atau anti kemapanan ketika aku lebih suka membayangkan sosok-sosok ‘manusia pinggiran’ itu sebagai manusia yang “layak diingat”. Sebab aku yakin, banyak tokoh kaya, sukses, dan berkuasa yang juga layak dihargai. Banyak di antara manusia yang “mapan” itu jelas layak menyandang predikat pahlawan juga, karena telah menyumbangkan segala yang berharga kepada hidup dan kehidupan. Hanya saja – kebetulan – aku memang tak banyak mengenal manusia jenis ini.

Sedari lahir, manusia yang banyak kutemui adalah justru jenis ‘manusia pinggiran’, yang menjalani hidup sering dengan rasa waswas dan prihatin. Namun, di sosok-sosok merekalah sering kutemukan hal-hal mencengangkan yang membuatku lebih menghargai hidup dan kemanusiaan. Tak aneh bila wajah-wajah merekalah yang justru muncul ketika aku membayangkan sosok manusia-manusia yang – selalu – pantas dihargai lebih. Raut-raut wajah mereja hadir mencipta rangkaian, semacam film yang diputar berurutan. Dan di ujung rangkaian wajah itu, hadir dua raut wajah; Bapak dan Simbok.

Wajah ‘yang selalu dilumuri senyum’, yang ‘legam tersengat matahari’, dengan ‘keperkasaan yang tak memudar’. Mereka yang tak pernah banyak menuntut. Yang ‘tak pernah mengeluh’, meski terasa ‘waktu telah menggilas semuanya’, meski kini mereka seakan-akan ‘tinggal punya jiwa’. Siapa lagi yang mendekati semua gambaran itu bagiku, selain Bapak dan Simbok?

Dengan bahasa apa pun, dengan ungkapan macam apa pun satu hal tak terbantah; mereka adalah pahlawan sebenarnya dalam hidupku. Dengan segala kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri mereka, pada sosok keduanya kudapatkan penghayatan yang lebih khusuk saat memaknai manusia-manusia bergelar pahlawan.

Perlahan tumbuh rindu, diam-diam terbit haru. Satu-satu kalimat itu lahir di hati, “Terima kasih untuk semua yang telah, sedang, dan akan kalian lakukan buatku. Kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan selalu buat kalian. Semoga senantiasa dalam petunjuk dan lindungan Tuhan…”


Bdg, 301111


Thursday, November 17

Senja


Selalu terasa getar yang asing, kala sendiri menatap luluh matahari; sebuah antara, di mana terang kan segera sirna, sebuah alih dari warna menjadi pekat jelaga.

Ada hening, takjub, khusuk, memandang semburat tembaga langitnya, menikmati teduh gerak udaranya. Membuat diri merasa jadi bagian sesuatu yang tak sepenuhnya terpahami. 

Ada juga rasa sia-sia, terpisah, menjauh; tak tersentuh. Selarik ngilu, mungkin haru, menyadari kembali sehari lalu bukan lagi milikku.

Semesta muram seiring pijar yang padam. Sementara di hati, rongga tercipta diam-diam. Mungkin karena setiap senja selalu menegaskan adanya batas. Sebuah retakan yang memupus kesempurnaan; sebuah ujung dari semarak petualangan.

Lalu kita pun belajar mengerti; selalu ada sebuah tepi yang mustahil terlampaui.
 


Bdg, 161111

Wednesday, November 16

Catatan Mei 2011




Malam hangat; bulan tak sempurna terbiar pucat. Belum purnama, mungkin semalam-dua malam lagi. Masih bundar ganjil bentuknya, masih malu-malu senyumnya. Belum genap keindahan seperti sering coba dilukiskan penyair dan pujangga. 

Selalu begitulah mereka, terlalu gemar menakar indah ketika semua telah tampak sempurna. Atau kalau tidak, paling-paling mereka akan mencandra apa yang mereka anggap ketidaksempurnaan itu  sebagai sebentuk luka. Kalaulah boleh berandai, kupikir, mereka akan menyebut bulan malam ini sebagai purnama cacat. Meski cukup benderang; cahayanya mampu memudarkan kerlip bintang.

Bintang, bintang telah semakin jarang. Pandang lebih sering terhalang awan yang urung menjelma hujan. Atau gugus kabut asap buah hidup makhluk fana. Sungguh, tak seperti lagu masa kanak, ketika bintang dan bulan adalah permata abadi malam hari. Kini semakin mengerti, menyandingkan bulan dan bintang dalam satu kisah adalah mimpi yang lebih sering berakhir sebagai mimpi.

Ah, apa yang salah dengan mimpi? Tak pernah ia menuntut mesti diwujudkan. Dalam gerak kehidupan, ia hanya ingin hadir, sekadar memberi warna beda dalam monoton kanvas manusia. Sejak mula mimpi telah paham diri; hidup terlalu indah untuk direcoki. Sesempurna apapun mimpi, tak pernah ia mampu menyanding kemilau hidup itu sendiri. Karenanya mimpi lebih sering menepi, ketika hidup hadir membuka pagi.

Namun kepadaku, betapa sering hidup berkata; "Sejatinya aku adalah sebentuk mimpi juga. Hanya manusia sering buta membaca tanda. Mencoba mencipta batas aku dan dia, adalah kesiaan tanpa muara."

Sungguh, kepada malam dan purnama tak sempurna, ingin kutanya; Apa makna ucapan hidup itu sebenarnya?

Ujung hari, 150511