Friday, September 21

Unggun


Lagi kita di sini, meriung melingkar di terang api. Dipertautkan hasrat, mungkin juga cita dan mimpi. Atau sekadar ketakutan masing-masing pada sepi… ?
“Hanya di sini, aku tak pernah merasa benar-benar sendiri,” katamu
Sedang aku hanya bisa membisu; seperti yang lalu, terpukau manik matamu.

Resah angin merambati daun. Sehelai jatuh di pangkuan. Kabut turun meluruhkan embun. Embun kesekian, dalam rentang perjalanan. 
Bertahun sudah, apa yang berubah?

Basah rumputan dikilau cahaya; basah kita di naung langitnya. Memucat kulit kita, menahan gigil udara. Sementara sesekali suara; titik air yang hilang rupa. Malam telah benar larut…

Dan kembali kisah terbaca. Kisah lama yang tak tuntas terselami. Belum barangkali.
“Apa yang buatmu kembali?” tanyamu
Entahlah, mungkin kepercayaan pada hati …

Tanpa kata, kemudian kau tarik aku, bergeser merapat ke nyala bara. Api itu sempurna menunaikan tugasnya. Melumat ranting dan dahan; mencipta terang, ikhtiar menghalau beku yang datang. Kacau emas liuknya; menari bayangan kita.

Kutatap parasmu. Tak lama. Tempias api unggun di mata. Perlahan pandang bertaut dalam harap dan doa; selintas usia, semoga tak raib dalam perih dan hampa semata.

Tersenyum kita; entah untuk apa, entah untuk rasa yang mana. Hanya perlahan kurasa hangat merambat di dada.


Baturraden, 150912

Wednesday, September 19

Gurat 01


Ada waktunya, ingatan mesti direbahkan. Kenang didamaikan meski dalam perih diamdiam. Dan kita dipaksa mengakui segala yang selayaknya diakui, merengkuh kenyataan yang takkan pernah terhindari; mengakrabi takdir, meski getir. Konon, begitu kehidupan mendidik kita, jadi dewasa di genggam-Nya. Tapi tak di saat ini, di tempat ini.

Ada yang mesti kita relakan hanyut seturut kecipak waktu. Terlarung bagai guguran daun terapung menuju entah. Belajar melepaskan tuk mendapatkan. Melebur tuk menemukan. Tapi ternyata tak pernah sederhana, terlebih untuk segala tentangmu. Tak saat ini, di tempat ini.

Terlanjur terbiasa regam jemari hangat, tawa memendar relung nadi sepanjang hayat. Tembok tua dan bangku kayu, menggigil rindu wangi tubuhmu.

Detik tanggal, angin suruk terdampar; meraba kusam jendela, meraba rasa dalam asing sempurna. Senyap tiba. Sementara benam matahari hanya penegas benderang dan pekat betapa rekatnya.

Kini lengkap sudah temaram. Lampulampu mulai dinyalakan, penat disandarkan. Sedang kisah purba di jantung berlintasan. Maka meski sejenak, hanya ingin sejenak, ijinkan kembali embun rekah di mata. Sebelum terbit pagi pertama, dan jejakjejak baru menunggu dicipta.

Pwt-Bdg, 160912

Sunday, September 2

Purnama



Purnama jadi hilang arti, sejak benderang lelampu merajang kelam malam hari. Pun di kota ini. Tak lagi ada sorak riang bocah-bocah bermain di pelataran, bungah bermandi terang purnama. Tak lagi ada taburan bunga serta alun mantra para pemuja, sebagaimana cerita berabad lamanya.

Malam telah begitu hingar. Hari-hari terlanjur sesak dengan beragam cakap dan keluhan. Dan bulan tinggal sekeping mata tembaga; pucat, terpencil, beku tergantung disaput awan yang lewat sesekali.

Barangkali hanya para pemimpi, atau pemburu dan pengeja bahasa-bahasa paling murni, yang masih setia menanti tiba purnama. Semata karena percaya; dalam teduh udara dan lembut larik cahayanya, tersimpan rahasia akan keheningan rasa dan jejaring daya semesta. Atau malah sekadar jiwa-jiwa kasmaran mabuk angan yang mendadak merasa tak utuh sebelum melahirkan sepenggal syair tentang bulan, tentang purnama. 

Masih, bulan terapung seadanya di kusam langit kota; muram rautnya selayaknya lukisan yang gagal rupa. Sementara di bawahnya, kaca-kaca kereta kuyup dilumur air matanya.

  
Tugu, Ujung hari, 010912