Wednesday, November 16

Catatan Mei 2011




Malam hangat; bulan tak sempurna terbiar pucat. Belum purnama, mungkin semalam-dua malam lagi. Masih bundar ganjil bentuknya, masih malu-malu senyumnya. Belum genap keindahan seperti sering coba dilukiskan penyair dan pujangga. 

Selalu begitulah mereka, terlalu gemar menakar indah ketika semua telah tampak sempurna. Atau kalau tidak, paling-paling mereka akan mencandra apa yang mereka anggap ketidaksempurnaan itu  sebagai sebentuk luka. Kalaulah boleh berandai, kupikir, mereka akan menyebut bulan malam ini sebagai purnama cacat. Meski cukup benderang; cahayanya mampu memudarkan kerlip bintang.

Bintang, bintang telah semakin jarang. Pandang lebih sering terhalang awan yang urung menjelma hujan. Atau gugus kabut asap buah hidup makhluk fana. Sungguh, tak seperti lagu masa kanak, ketika bintang dan bulan adalah permata abadi malam hari. Kini semakin mengerti, menyandingkan bulan dan bintang dalam satu kisah adalah mimpi yang lebih sering berakhir sebagai mimpi.

Ah, apa yang salah dengan mimpi? Tak pernah ia menuntut mesti diwujudkan. Dalam gerak kehidupan, ia hanya ingin hadir, sekadar memberi warna beda dalam monoton kanvas manusia. Sejak mula mimpi telah paham diri; hidup terlalu indah untuk direcoki. Sesempurna apapun mimpi, tak pernah ia mampu menyanding kemilau hidup itu sendiri. Karenanya mimpi lebih sering menepi, ketika hidup hadir membuka pagi.

Namun kepadaku, betapa sering hidup berkata; "Sejatinya aku adalah sebentuk mimpi juga. Hanya manusia sering buta membaca tanda. Mencoba mencipta batas aku dan dia, adalah kesiaan tanpa muara."

Sungguh, kepada malam dan purnama tak sempurna, ingin kutanya; Apa makna ucapan hidup itu sebenarnya?

Ujung hari, 150511

No comments:

Post a Comment