Malam hangat; bulan tak sempurna
terbiar pucat. Belum purnama, mungkin semalam-dua malam lagi. Masih bundar
ganjil bentuknya, masih malu-malu senyumnya. Belum genap keindahan seperti
sering coba dilukiskan penyair dan pujangga.
Selalu begitulah mereka, terlalu
gemar menakar indah ketika semua telah tampak sempurna. Atau kalau tidak,
paling-paling mereka akan mencandra apa yang mereka anggap ketidaksempurnaan
itu sebagai sebentuk luka. Kalaulah boleh berandai, kupikir, mereka akan
menyebut bulan malam ini sebagai purnama cacat. Meski cukup benderang;
cahayanya mampu memudarkan kerlip bintang.
Bintang, bintang telah semakin
jarang. Pandang lebih sering terhalang awan yang urung menjelma hujan. Atau
gugus kabut asap buah hidup makhluk fana. Sungguh, tak seperti lagu masa kanak,
ketika bintang dan bulan adalah permata abadi malam hari. Kini semakin
mengerti, menyandingkan bulan dan bintang dalam satu kisah adalah mimpi yang
lebih sering berakhir sebagai mimpi.
Ah, apa yang salah dengan mimpi? Tak
pernah ia menuntut mesti diwujudkan. Dalam gerak kehidupan, ia hanya ingin
hadir, sekadar memberi warna beda dalam monoton kanvas manusia. Sejak mula
mimpi telah paham diri; hidup terlalu indah untuk direcoki. Sesempurna apapun
mimpi, tak pernah ia mampu menyanding kemilau hidup itu sendiri. Karenanya
mimpi lebih sering menepi, ketika hidup hadir membuka pagi.
Namun kepadaku, betapa sering hidup
berkata; "Sejatinya aku adalah sebentuk mimpi juga. Hanya manusia
sering buta membaca tanda. Mencoba mencipta batas aku dan dia, adalah kesiaan
tanpa muara."
Sungguh, kepada malam dan purnama
tak sempurna, ingin kutanya; Apa makna ucapan hidup itu sebenarnya?
Ujung hari, 150511
No comments:
Post a Comment