Sunday, September 29

Perempuan yang Setia Menatap Laut


Setiap leleh senja. Saat jingga tercipta di akhir cahaya
Bayang rebah. Udara redup
Dan sirine kapal serupa terompet kerang sayup sampai
Dia akan duduk di titian tangga
Tangga yang kusam berlumut
Tangga batu di pinggang bukit berkabut
Seperti terpisah dari hidup. Menatap laut

Didekapnya dua kaki dalam hening pertapa
Pada lututnya dagu bertopang
Di jemarinya beledu sekuntum kembang
Dengan tubuh serapuh daun pandan
Dengan rambut menggerai aroma hutan

Pandangnya jauh
Pandangnya jauh
Menembusi kian rapatnya kelambu hari
Mengabaikan erang angin dan daun jatuh
Menyusuri garis langit dan laut bersentuh

Kenangnya jauh
Kenangnya jauh
Pada ketika sebuah cadik
Jadi noktah yang hadir mencabik
Larik lengkung cakrawala hari senja
Senja yang biasa
Serupa ratusan senja yang pernah dijumpainya

Menyibak riak
Tertambat cadik di pantai menepi
Hantarkan kaki kukuh tembaga
Kecup aroma tembakau
Sepasang mata bianglala
Juga senyum yang meringkus purnama
Untuknya,
Terasa hanya untuknya

Sauh pun tertanam di lumpur dalam
Dongeng hanyalah takdir yang menanti didedahkan
Pulau perawan rimba basah
Bunga dan ilalang pematang sawah
Menggoda bermimpi tentang bebiji
Bertumbuh lahirkan tunas baru
Bungabunga dan harum kayu
Bumi dan surga pun terkuak tirainya

Hingga pada sebuah senja
Juga senja yang terasa sama
Sauh pun diangkat tergesa
Angin hadir, ombak datang
Teduh rimba tak mampu redakan hasrat bertualang

Ribuan hari jadi gurat di wajah
Ribuan harap berkarat resah
Masih didengarnya
Kecipak dayung menepuk buih
Kelebat layar ditampar angin
Laut gemulung berombak. Cadik kecil berderak
Bayang tinggal di benak kini;
Mimpi itu, masihkah punya arti?

Sempat didengarnya camar berkabar;
Lelaki bermata bianglala
Telah jadi peri penunggang ombak
Pemetik ganggang dan bunga karang
Kukuh kaki tembaganya
Menyerpih ribuan ikan dan lokan

Tapi siapa kuasa merampas angan?
Sementara hati
Selalu memiliki hukum dan bahasanya sendiri

Dihembusnya nafas
Dikebasnya cemas
Perempuan masih menatap laut
Selalu laut
Seakan ia muasal hayat
Arah damba dan doa terpanjat

Bergetar bilah bibir kelopak mawar
Jantung membuncah di isak suara
Membisik bagai gerimis ricik
Sebuah nama yang perlahan menjelma mantra


Mkw, Agustus-September 2013

No comments:

Post a Comment