Sunday, September 22

Kusebut Ini Sebagai Rindu



Kusebut ini sebagai rindu;
Yang mengajak kembali setelah sekian waktu

Jalanan itu masih seperti dulu. Seperti berkali kita menapakinya
Hanya trotoar yang mulai rombeng. Dikoyak cuaca
Sepi. Manusia melintas sesekali
Di beberapa sisi. Berserak gugur daun mahoni
Kusam papan iklan. Temaram tembaga lampu jalan
Menggigil basah dahan. Keriput kulit pohonan
Malam meruahkan aroma hujan

Lagi, lintas di sini. Dan teringat malam-malam pernah lewati
Bergayut lengan, bertaut mimpi
Melangkah bersisihan. Endapkan resah yang buncah
Atau sekadar maknai hari yang lelah

Seperti biasa, engkau yang akan lebih banyak cerita
Sedang bagiku selalu lebih menarik mendengarmu bicaraMenikmati setiap kata yang kau cipta
Memunguti mantra dari alam paling rahasia
Bibirmu kan bergerak wajar. Mata meruahkan binar
Sesekali gema tawamu, seperti tak hendak dirampas waktu
Lalu tanpa setahumu. Diam-diam doaku;
Gusti, beri tahu aku
Bagaimana memahat segala indah itu?

Malam itu, udara beku. Hujan baru saja lalu
Di rambutmu helai-helai gerimis menepi
Mencipta kerlip sesekali.
Kurapikan kerah jaketmu. Berharap tak gigil tubuhmu
Berkilat jalanan memantulkan kilau lampu 

“Kau tahu, mengapa tak bosan aku mengajakmu?
Menyusur malam. Meski hanya duduk di lembab bangku taman,
atau malah melangkah tanpa tujuan.”

Menggeleng aku. Menjawab tak tahu
Lalu pura-pura sibuk menebak. Jawab yang akan kau beri padaku

Sejenak engkau memandang kejauhan
Seperti memberiku waktu mengabadikan setiap ucapan

“Sebab malam lebih mampu mencatat
Banyak hal yang sering tak terperhatikan
Suara-suara yang terbiasa lindap teredam
Segala yang mudah raib diam-diam.”

Malam itu. Tak pernah lerai genggammu
Berbagi hasrat. Atau isyarat?

Di temaram jalan, sepenggal angin melintas
Mengombak anak rambutmu. Menyapu pucat bibirmu
Kau ajak sejenak henti
Merapatkan tubuh. Hangat merasuki liang hati
Berangsur malam jadi selengang candi

Hidup hanya rajutan kisah, katamu
“Dan aku ingin kau tahu, kisah paling berhargaku adalah tentangmu.”
Menatapku, lantas seperti berbisik ucapmu,
“Aku ingin, begitu pun aku bagimu…”
Kemudian tertawalah kamu,
Berdenting bagai gelas pecah di batu
Kemudian tertawalah aku,
Berkata; engkau pasti sedang menggombaliku

Begitu ringkas, detik tanggal meranggas
Lalu musim merampas apa yang sisa;
Serpih-serpih bisik, tangis dan tawa
Hal-hal sederhana yang jadi dongeng bersama

Barangkali benar, inilah hidup rupanya
Seperti ucapmu; hanya rajutan kisah
Teranyam bilah kata dan rasa
Berseling merah hitam hijau jingga    
Tak kenal umpama. Tak ada ulang cerita
Bergelut seolah merumuskan sejarah
Sekadar ikhtiar menunda kalah

Lalu sesekali rindu. Bercermin manik matamu
Lalu sesekali kenang
Berderap mengarak merayu pulang



Bandung, Mei-Juni 2013



No comments:

Post a Comment