Friday, May 31

Batas




Selalu ada sebuah titik di mana setelah kita sampai padanya, segalanya jadi tak lagi sama. Sebuah garis yang menjadi pemisah antara dua atau lebih hal yang berbeda, hal-hal yang kadang bahkan begitu bertentangan, baik dalam rupa, rasa, suasana, atau apapun. Sebuah Patahan. Sebuah Tepi. Sebuah Batas.

Sebagai sebuah pengertian, batas ataupun tepi ini membawa kita pada pemahaman bahwa fana adalah sebuah keniscayaan dalam hidup. Bahwa betapapun tampak sempurna, segala yang ada di dunia selalu memendam keterbatasan. Bahwa selalu ada yang membuat sesuatu jadi tak utuh. Bahwa tak ada yang abadi. Bahwa setiap hal memiliki waktunya masing-masing. Dan pada muaranya mestinya melahirkan pengakuan; memang tak pernah ada yang benar-benar mutlak selain Dia.

Pengetahuan akan keterbatasan pada semua yang ada dalam hidup ini mengusik, memunculkan banyak tafsir, yang kemudian berujung pada beragamnya reaksi dalam penyikapan. Ia rentan melahirkan rasa tak tentram.


Kita resah karena sadar bahwa segalanya – dalam hidup – ternyata tak selamanya ada. Setiap saat bersiap menyambut getir yang hadir, sebab sadar; tak setiap manusia bisa memperoleh segala yang diimpikannya. Kekecewaan bahkan kematian adalah pencoleng yang bisa muncul tiba-tiba, tanpa diduga, untuk merampas segala yang indah.  

Ketika pengertian akan adanya batas dalam hidup ini berkelindan dengan kesadaran akan milik atau kepemilikan, maka hidup pun rentan menjelma medan petualangan, atau bahkan ajang pertempuran. Selalu ada yang mesti diperjuangkan, atau diperebutkan. Sebab segala hal (di dunia) memiliki batasnya; tak memungkinkan dibagi untuk dinikmati setiap jiwa. Dunia jadi berharga karena berbagai hal yang tak selalu bisa dinikmati setiap manusia. Diperlukan perebutan. Bila perlu, pertempuran menjadi jalan yang dimaklumkan.

Dan setiap pertempuran senantiasa hanya melahirkan dua kelompok manusia. Tak pernah ada posisi “antara”, selalu hanya ada dua; pemenang atau pecundang.

Dan tiba-tiba aku teringat salah satu sajak Chairil Anwar...

Jangan terburu salah paham. Bila aku menyebut “teringat” akan sebuah sajak, itu tak lantas berarti bahwa aku benar-benar mengingat keseluruhannya. Tak pernah bisa kuhapal sajak secara utuh. Ingatanku lemah. Setiap membaca sebuah karya, tak satu pun yang benar-benar lekat di kepala.

Namun kadang ada juga kesan yang agak tertahan di ingatan saat membaca sebuah tulisan. Entah karena keindahan yang ditawarkan, kesedihan yang disisakan, atau juga sekadar karena ketaklaziman.

Dan buatku, salah satu sajak yang meninggalkan kesan itu adalah sajak Chairil satu ini. Setiap kali membacanya, sajak itu selalu mampu mengajakku sejenak berpikir tentang tepi dan keterbatasan. Sajak yang menurutku sedikit terasa murung, namun indah.  Sajak itu berjudul “Catetan Th. 1946”.
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut
Kita – anjing diburu – hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!
Membaca sajak tersebut, terasa ada yang membekas di rasa dan benak. Menyadari bahwa selalu akan ada batas menikmati dan mengalami dunia. Selalu akan ada waktunya; ketika “tanganku” menjadi “jemu terkulai”. Masa ketika “cahaya” yang biasa bermain-main di manik mata, mencair,  mengabur; “hilang bentuk dalam kabut”.

Tersekat dari setiap gerak dunia. Terpisah dari setiap jiwa – bahkan dari mereka yang selama ini lekat di hati. Lalu “suara dari mereka “yang kucintai pun ‘kan berhenti membelai”. Setiap sapa dan kata, segala cerita yang pernah ada, menjadi sekadar kenang yang pasti beranjak jauh, tak lagi tersentuh.

Terpencil kita, dalam sepi tak terkatakan. Bisu dalam keheningan yang asing. “Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut”. Pandang pun diregam kelam yang akut. Membeku dalam dekap maut.

Batas hidup itu pasti telah menanti kita. Namun entah nanti berjumpa di detik yang mana. Hanya soal waktu.

Tapi hidup bukanlah nanti. Hidup adalah saat ini; detik ini. Maut itu memang ada, menanti kita. Tapi toh tak sekarang.

Saat ini, kita masih di sini, masih ada di jejaring ruwet dunia. Bukankah karena kesadaran akan batas yang membuat sesuatu jadi berharga? Pengertian akan maut, membuat kehidupan terasa sebagai berkah paling indah.

Kita yang hanya manusia lumrah ini. Terlahir begitu jelata; sering tampak tanpa harga. Serupa “anjing diburu”. Terserak dalam gerak zaman yang besar.

Manusia  yang begitu terbatas dalam daya.  Begitu fakir dalam ilmu dan pemahaman. Pandang kita tak mampu jauh. Pengetahuan kita selalu saja tak utuh. Hanya memahami sebagian, dan banyak kehilangan bagian-bagian lainnya.

Bila hidup adalah panggung besar di mana takdir diuraikan, di mana kisah hidup dipentaskan, maka kita “hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang”. Umpama kita melihat atau bahkan terlibat dalam kisah Romeo dan Juliet yang mahsyur itu, maka kita masih ada di tengah-tengah arus dongengnya. Belum tahu bagaimana akhirnya, belum jelas bagaimana cerita akan bermuara. “Tidak tahu” apakah pada akhirnya Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”. 

Kita tahu, hidup memang tak pernah sempurna. Panggung ini begitu luas. Skenario yang ada terlalu kompleks. Begitu banyak tokoh di dalamnya, berderet nama-nama sepanjang ceritanya. “Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu”. Dongeng besar itu memang tak pernah sederhana.

Kita mungkin hanya figuran kecil dalam mahacerita semesta. Pendeknya usia kita, keterbatasan kemampuan kita, sering membuat kita tak pernah sampai pada akhir ceritanya. Bagi kita, “sandiwara” itu selalu saja tak utuh. Cerita itu terasa tak pernah tuntas.

Tapi apapun rupanya, toh kini kita terlibat dalam ceritanya. Sekecil apapun itu, kita toh memiliki bagian peran untuk memperlengkapi dongeng besar itu. Tanpa kita, dongeng agung itu takkan sempurna. Sejatinya, tak pernah ada terlahir sebagai yang sia-sia.

Maka entah terlahir sebagai apa, sebagai “orang besar” atau sekadar figuran “beratus ribu” yang hanya muncul selintas dan lantas tenggelam, semua manusia memiliki nilai dan tugasnya masing-masing. Karenanya tetap, “keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat”.

Bila nanti peran kita berakhir, kita tak lagi “diburu” oleh segala yang saat ini memburu, ketika “bedil sudah disimpan”, kita akan terlerai dari mahacerita ini. Tuntas sudah bagian kata-kata dan peran kita, raib kita dari rangkaian ceritanya.

Segala yang dialami di waktu lalu “cuma” akan jadi kenangan berdebu”. Pada saat itu, entah bernilai atau tidak segala yang pernah kita lakukan itu; kita tak pernah tahu.     

Bisa saja diri dan peran kita diingat. Jalinan kisah – di mana kita terlibat di dalamnya – tercatat. Atau bisa juga terjadi sebaliknya; semua (yang berarti saat ini) akan raib tanpa sisa, tinggal menjadi “kenangan berdebu” yang terbiar diberai waktu. Tak ada yang pernah tahu.

Sampai di sini, kita pun dipahamkan; manusia, ternyata begitu terbatasnya. Subjek yang setiap waktu rentan disergap kematian. Subjek yang mesti menerima bahwa di salah satu kelokan jalan nanti, maut itu pasti menanti. Subjek yang tak pernah utuh dalam pemahaman,  yang hanya mampu melihat sebagian dari keseluruhan jalinan dongeng agung. Subjek yang tak pernah sepenuhnya mampu memutuskan nasib; mesti bersiap menerima bila terlahir sebagai “orang besar”, atau malah cuma sekadar bagian dari mereka yang “tenggelam beratus ribu”. Bahkan terkait arti diri pun, seseorang tak pernah sepenuhnya punya kuasa dalam menentukan. Keberartian itu membutuhkan semacam “pengakuan” dari subjek-subjek lain; subjek yang akan menjadi penilai. Makna keberadaan kita, ternilai justru dari keberadaan manusia di sekitar kita.

Yang menarik, Chairil terkesan tak mengutuk segala keterbatasan itu. Segala keterbatasan itu diterima secara wajar, seakan satu hal yang memang sudah semestinya. Segala yang akan terjadi nanti, biar terjadilah.

Jauh dari khawatir, ia – menurutku – justru (menganjurkan kita – pembacanya) memilih untuk tak mau tahu. Semua terkait “masa nanti” itu tak perlu terlalu kita pikirkan.  Tak perlu larut  terlalu jauh dalam  segala yang bersifat spekulatif. Jadi apa kita nanti? Akan berarti atau tak berarti? Akan tercatat atau dilupakan? Tak selayaknya terlalu diresahkan.

Toh saat ini pun kita “hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang”. “Tidak tahu” apakah pada akhirnya Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”.

Bukan jatah kita menakar apa yang belum dialami. Bukan lagi jadi tugas kita untuk memaknai “arti”  ada atau tiadanya kita nanti.  Biarlah tugas mengingat dan memberi arti itu sepenuhnya “diserahkan kepada anak” yang sempat lahir; generasi setelah kita. Nanti.. suatu waktu…

Yang jelas, yang mesti kita pahami, saat ini, kita masih ada di sini; di panggung besar ini. Kita masih terlibat sebagai salah satu pelakon hidup. Hidup yang nyata; dengan asin, getir, dan manisnya. Jadi mari kita tuntaskan peran kita dengan sesempurna-sempurnanya.

Kehidupan yang serba tak terduga ini menuntut kita bijak memaknai segala yang ada. Usia terlalu berharga untuk dibiarkan tanpa sesuatu yang pantas dirayakan. “Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah”. Tak selayaknya gentar menjalani setiap liku yang ada.

Cermati segala yang di sekitar kita. Syukuri setiap karunia. Rayakan setiap riak takdir semesta. “Tulis” kisah kita sebaik-baiknya sehingga nantinya menjadi kisah yang pantas dibanggakan. Biarpun barangkali hanya setetes, biarlah keberadaan kita memberi kesegaran pada “kertas gersang” zaman; pada kehidupan yang selama ini kerontang, serupa “tenggorokan kering sedikit mau basah!

Lagipula , bukankah setiap kita sebenarnya juga membutuhkannya? Membutuhkan untuk menulis kisah, membutuhkan untuk memahat arti. Setiap kita memendam semacam kerinduan – kadang diam-diam – untuk menjadi sebaik-baiknya makhluk. Mengapa tidak kita maksimalkan setiap yang ada pada kita saat ini untuk melakukannya?

Maka sudah selayaknya “jangan mengerdip, tatap dan penamu asah”. Mulailah menuliskan cerita terbaikmu. Sebab setiap kita menyimpan selembar “kertas gersang” kosong yang menanti diisi. Setiap kita menanggungkan “tenggorokan kering yang sedikit mau basah!”.

Terasa ada nada kalah di sana, namun tak hendak menyerah. Ada yang terasa menyesakkan, namun mesti tetap ditanggungkan untuk dituntaskan. Dengan begitu, hidup akan berjalan. Dengan begitu sejarah manusia digenapkan.

Bdg, 300513 – Awal hari

No comments:

Post a Comment