Purnama jadi hilang arti, sejak
benderang lelampu merajang kelam malam hari. Pun di kota ini. Tak lagi ada
sorak riang bocah-bocah bermain di pelataran, bungah bermandi terang purnama.
Tak lagi ada taburan bunga serta alun mantra para pemuja, sebagaimana cerita
berabad lamanya.
Malam telah begitu hingar. Hari-hari
terlanjur sesak dengan beragam cakap dan keluhan. Dan bulan tinggal sekeping
mata tembaga; pucat, terpencil, beku tergantung disaput awan yang lewat
sesekali.
Barangkali hanya para pemimpi, atau
pemburu dan pengeja bahasa-bahasa paling murni, yang masih setia menanti tiba
purnama. Semata karena percaya; dalam teduh udara dan lembut larik cahayanya,
tersimpan rahasia akan keheningan rasa dan jejaring daya semesta. Atau malah
sekadar jiwa-jiwa kasmaran mabuk angan yang mendadak merasa tak utuh sebelum
melahirkan sepenggal syair tentang bulan, tentang purnama.
Tugu, Ujung hari, 010912
No comments:
Post a Comment