Sunday, September 2

Purnama



Purnama jadi hilang arti, sejak benderang lelampu merajang kelam malam hari. Pun di kota ini. Tak lagi ada sorak riang bocah-bocah bermain di pelataran, bungah bermandi terang purnama. Tak lagi ada taburan bunga serta alun mantra para pemuja, sebagaimana cerita berabad lamanya.

Malam telah begitu hingar. Hari-hari terlanjur sesak dengan beragam cakap dan keluhan. Dan bulan tinggal sekeping mata tembaga; pucat, terpencil, beku tergantung disaput awan yang lewat sesekali.

Barangkali hanya para pemimpi, atau pemburu dan pengeja bahasa-bahasa paling murni, yang masih setia menanti tiba purnama. Semata karena percaya; dalam teduh udara dan lembut larik cahayanya, tersimpan rahasia akan keheningan rasa dan jejaring daya semesta. Atau malah sekadar jiwa-jiwa kasmaran mabuk angan yang mendadak merasa tak utuh sebelum melahirkan sepenggal syair tentang bulan, tentang purnama. 

Masih, bulan terapung seadanya di kusam langit kota; muram rautnya selayaknya lukisan yang gagal rupa. Sementara di bawahnya, kaca-kaca kereta kuyup dilumur air matanya.

  
Tugu, Ujung hari, 010912

No comments:

Post a Comment