Betapa sering, identitas
diteguhkan dengan memperbedakan. Bagi manusia, ‘memperbedakan’ itu berarti mencari apa yang tak sama antara
diri pribadi dengan liyan. Semakin tajam sebuah perbedaan, maka seolah semakin
jelas batas antar–subjek ataupun pribadi. Semakin dirasa jelas batas-batas,
label dan klasifikasi pun semakin memungkinkan untuk diterakan. Kemudian
lahirlah ‘aku’ dan ‘dia’; ‘kita’ dan ‘mereka’.
Tak bisa dipungkiri, kesadaran bahwa
setiap manusia merupakan entitas yang unik, yang tak tertukar-gantikan, telah
melahirkan beragam gagasan dan tindakan besar di sepanjang sejarah kehidupan
manusia. Penemuan-penemuan hebat, pemikiran-pemikiran brilian,
tindakan-tindakan mencengangkan, bahkan perang-perang yang tak terlupakan di
hampir setiap sudut zaman sering menjadi akibat yang tak terhindarkan.
Peradaban manusia – ternyata – banyak berkembang sebagai buah yang lahir dari
semangat untuk meneguhkan identitas dan upaya pembedaan ini.
Hasrat dan kesadaran tentang
perbedaan setiap diri senantiasa menuntut sebuah wadah; sebuah media yang
terindera. Dan media yang dipergunakan sebagai penegas identitas ini tentu merupakan
produk-produk kebudayaan manusia. Dalam konteks ini, naluri manusia untuk
berbeda akhirnya menyubur-kembangkan kebudayaan manusia. Lahirlah pranata,
bahasa, mode dan busana, serta segala penanda budaya yang beragam wujudnya,
yang menjadi penegas identitas sebuah pribadi ataupun kaum. Pun dalam sebentuk
lagu.
Begitu banyak lagu tercipta
sebagai luapan cita-cita, semangat, juga kesadaran manusia ‘karena’ dan ‘untuk’
berbeda dengan yang lain. Pada ranah yang lebih luas, ia tak hanya melulu soal
pribadi, melainkan juga soal suku, negara, bahkan agama.
Irama lagu menyentuh
relung-relung yang kadang tak mampu diraba media lainnya. Lirik lagu memiliki
daya yang kadang lebih mampu menggerakkan hati dan kehendak. Maka di setiap
ruang sosial dalam skala apa pun, tak jarang kita temukan semacam tembang khas
yang menjadi penandanya. Hampir setiap organisasi memiliki mars dan hymne-nya.
Setiap negara memiliki lagu kebangsaannya. Dan di pulau paling timur nusantara
ini, salah satu lagu yang menarik buatku adalah ‘Aku Papua’.
*****
*****
Adalah seorang kenalan baru –
putra Papua – yang membawaku mendengar lagu itu untuk kali pertama. Ia adalah
salah satu pegawai, tepatnya anggota satuan pengamanan, di kantorku; Om Selotin, begitu kami biasa memanggilnya.
Berawal dari keisengan khas para perantau yang banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol, bermain kartu, atau begadang malam hari dengan bermain gitar. Kami – para pegawai perantau yang berdiam di mess – biasa melakukan hal itu tak jarang hingga dini hari. Malam di awal-awal kedatanganku di Papua itu, kebetulan aku kebagian peran sebagai ‘pemain gitar’ – meski sebenarnya aku tak piawai benar memainkan alat musik satu ini.
Berawal dari keisengan khas para perantau yang banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol, bermain kartu, atau begadang malam hari dengan bermain gitar. Kami – para pegawai perantau yang berdiam di mess – biasa melakukan hal itu tak jarang hingga dini hari. Malam di awal-awal kedatanganku di Papua itu, kebetulan aku kebagian peran sebagai ‘pemain gitar’ – meski sebenarnya aku tak piawai benar memainkan alat musik satu ini.
Tapi dalam kumpulan manusia semacam
kami, kadang memang tak perlu terlalu pintar untuk beruntung tertimpa nasib
sebagai pengiring manusia-manusia kesepian itu bernyanyi. Cukuplah bila
kebetulan kamu berada pada tempat dan waktu yang ‘pas’, jadilah kamu pengamen
kambuhan yang harus selalu siap dengan permintaan lagu lintas genre, lintas
bahasa, bahkan lintas zaman.
Sebagaimana lazimnya nyanyian
para amatir, diiring pemain musik yang juga amatir, maka sempurnalah alunan
lagu itu menjadi lagu yang mungkin hanya pas untuk telinga para amatir. Nada akord
gitar dan suara penyanyi sering tak akur. Tempo ketukan musik yang
diejawantahkan dalam genjreng gitar sering tak melaju harmonis dengan tempo vocal
para penyanyi.
Tapi semua yang mungkin merupakan
‘hal yang tak diharapkan’ itu ternyata tak pernah mengurangi keasyikan kami.
Tak jarang justru segala kekurangan itu menjadi bumbu yang membuat acara
kumpul-kumpul semacam itu jadi terasa segar.
Sering lahir kekonyolan ketika
kami terjebak pada ‘maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai’
saat menyanyikan lagu. Namun tak jarang juga muncul improvisasi-improvisasi
mengejutkan yang hanya mungkin lahir dari reaksi spontan sebuah penampilan live music.
Maka malam itu menapak cepat, beberapa lagu pun lewat. Biasanya, bahkan kadang sebelum sebuah lagu benar-benar tuntas, salah satu dari yang hadir akan dengan cepat (kadang asal) menyebut satu judul lagu. Dan sebagai orang yang malam itu didaulat jadi ‘pengamen kambuhan’, aku mesti cepat-cepat memutar segala referensi akord dan lagu di otakku untuk bersiap mengiring lagu berikutnya. Tapi tidak kali ini. Kami terdiam. Masing-masing bingung, kemudian saling menanya; selanjutnya lagu apa?
Maka malam itu menapak cepat, beberapa lagu pun lewat. Biasanya, bahkan kadang sebelum sebuah lagu benar-benar tuntas, salah satu dari yang hadir akan dengan cepat (kadang asal) menyebut satu judul lagu. Dan sebagai orang yang malam itu didaulat jadi ‘pengamen kambuhan’, aku mesti cepat-cepat memutar segala referensi akord dan lagu di otakku untuk bersiap mengiring lagu berikutnya. Tapi tidak kali ini. Kami terdiam. Masing-masing bingung, kemudian saling menanya; selanjutnya lagu apa?
Pada saat itulah, tiba-tiba dia –
si putra Papua itu – menyebut, “Aku Papua..!"
Kontan aku membatin, Aku Papua? Lagu macam apa itu? Siapa yang
menyanyikan? Lagu populer atau lagu
daerah? Atau barangkali hanya lagu yang banyak didengar di daerah ini, sebab
aku tak pernah sekalipun mendengar?
Karena memang aku tak pernah
mengerti tentang lagu itu, maka aku pun berkata, “Wahh… Sorry.. Aku nggak
ngerti lagunya. Jadi nggak bisa gitarin..”
“Masa belum pernah dengar?”
“Belum..”
“Itu lho, yang dinyanyikan si Edo
Kondologit, yang liriknya ‘Hitam kulit,
keriting rambut’….” Dia lantunkan penggalan lagu itu, kemudian kembali bertanya
seperti tak percaya ucapanku, “Tra pernah dengarkah?”
“Maaf, tapi bener, aku ngga ngerti. Edo Kondologit
sih aku tahu, penyanyi dari Papua juga, kan? Tapi lagunya aku bener-bener ngga ngerti. Mungkin kawan-kawan
lain ada yang tahu?” aku melihat sekeliling. Berharap ada di antara mereka yang
bersedia menggantikanku menjadi tukang gitar. Tapi tak ada yang mau menggantikanku sebagai pengiring lagu.
Setelah beberapa waktu saling menunjuk, ternyata, banyak di antara kawan
yang hadir tahu lagu itu. Beberapa di antara mereka bahkan kemudian
menyanyikannya, mencoba menunjukkan nada lagunya agar bisa kucari akord
gitar-nya. Tapi tetap saja mereka tak mau memainkan gitar
mengiringi dinyanyikannya lagu Aku Papua ini.
Maka selanjutnya terpaksa kuminta
kenalan baru dari Papua itu menyanyikan penggalan-penggalan lagu. Setiap dia
selesai satu baris nada, aku ikuti dengan gitar, sambil sebentar-sebentar
bertanya, “Seperti ini?"
“Ya, itu sudah..”
Setelah beberapa kali mengulang,
sedikit banyak ada gambaran di kepalaku tentang lagu itu. Malam itu, lagu Aku
Papua pun jadi terlantunlah, diiringi gitar yang aku sendiri tak terlalu yakin
benar atau salah pemilihan akordnya. Si Putra Papua dengan antusias
menembangkannya. Sejujurnya, waktu itu aku hanya tahu nada, tak sepenuhnya
mencerna isi liriknya. Namun menurutku nada lagu serta lirik lagu ini bagus.
Agak berbeda dengan kebanyakan lagu daerah.
*****
Beberapa hari kemudian, kucari
format mp3 lagu itu di internet. Ternyata memang ada. Dinyanyikan oleh Edo
Kondologit – salah satu penyanyi paling populer yang lahir di tanah Papua ini.
Kudengarkan lagunya, kuperhatikan liriknya.
Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah, sebanyak batu
Adalah harta harapan
Tanah Papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua…
Aku Papua…
Tak banyak data bisa kudapatkan
tentang lagu tersebut. Di beberapa situs, hanya ada satu dua berita yang menyebut bahwa
Edo Kondologit menyanyikan lagu tersebut di beberapa acara. Tapi dari laman http://www.tempo.co (02/11/02011) kutemukan, lagu ini merupakan
karya Edo yang bekerja sama dengan Franky Sahilatua – salah satu musisi ternama
Indonesia. Dalam beberapa kali pemberitaan, Edo menyebut, lagu ini adalah buah
keprihatinannya akan kondisi masyarakat Papua yang masih saja terkesan terabaikan
bahkan setelah berpuluh tahun negeri ini merdeka.
Dalam sebuah berita di http://regional.kompas.com (01/11/2013)
tertulis, “Menurut Edo, lagu Aku Papua menggambarkan betapa kondisi
ironis di tanah Papua, tanah kaya tetapi justru orangnya tetap miskin hingga
saat ini. Menurut Edo, sudah saatnya harus ada perubahan di Papua.”
*****
*****
Meski dalam beberapa wawancara Edo
menyebut lagu itu sebagai sebentuk keprihatinan akan nasib rakyat Papua, namun
– sejujurnya – buatku lagu itu sendiri terbilang bernada ‘manis’. Maksudku, nada-nada
yang tersusun tak banyak bernada keluhan apalagi perlawanan. Bahkan tak nampak nada gusar di dalamnya.
Lirik yang dipilih pun tak banyak mengeksplorasi kondisi rakyat Papua yang
memprihatinkan, sebagaimana disebutkan Edo. Lirik lagu yang ada cenderung lebih
banyak berkisah tentang Papua sebagai pulau yang kaya, di samping rasa bangga
sebagai bagian dari Papua. Bait pertama dan kedua secara jelas menggambarkan
itu.
Tanah Papua adalah “tanah yang kaya”, serupa “surga kecil jatuh ke bumi”. Seluas
hamparan tanahnya, setiap butir batunya, adalah harta yang menjanjikan harapan.
Tanah Papua adalah “tanah leluhur”, di mana “aku lahir”. Papua adalah akar berpijak,
juga udara untuk berkembang. Bersama desau anginnya, bersama siraman airnya,
bersama setiap kersik daunnya, “aku
dibesarkan”.
Barulah pada bait ketiga, yang
merupakan bagian reffrain lagu,
terasa ada nada suara yang beda di sana. Ia jadi semacam pernyataan, sebuah
pengejawantahan kehendak dari si aku lirik, dan karenanya jadi sebuah laku yang sadar
dalam mencipta jarak dengan ‘yang lain’.
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Untuk lebih menekankan pesan
lagu, dilakukan repetisi kalimat di dalam lirik “Hitam kulit, keriting rambut/ Aku Papua”. Bahkan pernyataan tentang
kesadaran si aku sebagai manusia Papua ini kemudian ditegaskan lagi dengan
sebuah pengandaian hiperbolis.
Biar nanti langit terbelah
Aku Papua…
Dua hal inilah, “hitam kulit” serta “keriting rambut”, yang dipilih komposer lagu untuk menegaskan identitas
itu. Dua buah gambaran yang sangat khas. Sebab pada dua hal itulah – memang –
ciri terjelas yang mudah ditangkap, yang bisa jadi pembeda.
Tak perlu gambaran terlalu
panjang, tak perlu uraian berlebihan. Pada kulit yang hitam dan rambut keriting
itulah identitas Papua disematkan. Di sini terlihat kecermatan komposer dalam
memilih diksi saat membangun lirik. Dengan begitu, kemudian seakan lahir
semacam batas; antara aku (yang hitam dan keriting) yang Papua, dan kamu
(kalian) yang bukan Papua.
*****
*****
Harus
diakui, persoalan identitas ini memang merupakan persoalan yang genting di daerah
ini, terutama bila dikontekskan dengan eksistensinya sebagai bagian dari
Indonesia. Sebagai sebuah entitas, Papua memang semacam keunikan bagi Indonesia.
Selain aspek geografisnya yang luar
biasa, dari aspek antropologis, ras suku bangsa penghuni pulau ini memang memiliki
penampilan yang unik dibanding kebanyakan penghuni kepulauan di nusantara; perawakan, rambut, kulit. Keunikan
ini nampak makin nyata dalam ekspresi-ekspresi kulturalnya. Tak jarang,
kekhasan ini berdampak pada rasa asing.
Kekhasan dan rasa asing inilah yang sampai saat
ini kadang jadi semacam bara yang sewaktu-waktu berpotensi menyala. Yang
kutahu, bahkan hingga hari ini semangat untuk memisahkan diri dari sebuah
kesatuan bernama Indonesia itu masih hidup di dada sebagian manusia
Papua. Tak besar barangkali, tapi juga tak benar-benar sepi.
Dan rasanya kondisi semacam ini
tak melulu problem Papua, melainkan problem yang hadir juga di banyak wilayah
di negeri ini. Bagaimanapun, Indonesia memang sebuah entitas yang tak pernah sepi
dari riak. Ia sebuah entitas yang tak berhenti dalam proses menjadi. Begitu
besar bangsa ini, begitu kaya. Dan kekayaan memang selalu memuat dua matra yang
beda; ia bisa jadi berkah berharga, namun juga memendam potensi untuk justru
jadi bencana. Lebih-lebih bagi negeri ini, negeri yang terbangun dari banyak
ide, banyak kepala, banyak jiwa, rencana, juga cita-cita. Senantiasa dibutuhkan
kesabaran untuk merawatnya. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran bersama, bila
memang masih sama berharap Indonesia ada.
Maka ketika mendengar lirik Aku Papua,
diam-diam aku berpikir, barangkali masih akan butuh waktu hingga negeri ini
benar-benar merasa satu. Merasa menjadi sebuah entitas yang utuh, dalam satu semangat dan harapan. Menjadi sebuah entitas yang bertumbuh dalam kesadaran bahwa perbedaan mestinya bisa jadi sebuah kekayaan.
Atau, jangan-jangan malah tak akan pernah ada rasa dan kondisi semacam itu?
Selalu serba mungkin, sebab bagaimanapun sejarah adalah semesta kemungkinan. Meski kita tahu, manusia adalah komponen utama. Kupikir, ada baiknya setiap diri di negeri ini bertanya sekali waktu; akhir seperti apa yang sedang kita tuju?
Atau, jangan-jangan malah tak akan pernah ada rasa dan kondisi semacam itu?
Selalu serba mungkin, sebab bagaimanapun sejarah adalah semesta kemungkinan. Meski kita tahu, manusia adalah komponen utama. Kupikir, ada baiknya setiap diri di negeri ini bertanya sekali waktu; akhir seperti apa yang sedang kita tuju?
Mkw, Awal Juli 2013
No comments:
Post a Comment