Monday, July 8

Aku Papua


Betapa sering, identitas diteguhkan dengan memperbedakan. Bagi manusia, ‘memperbedakan’  itu berarti mencari apa yang tak sama antara diri pribadi dengan liyan. Semakin tajam sebuah perbedaan, maka seolah semakin jelas batas antar–subjek ataupun pribadi. Semakin dirasa jelas batas-batas, label dan klasifikasi pun semakin memungkinkan untuk diterakan. Kemudian lahirlah ‘aku’ dan ‘dia’; ‘kita’ dan ‘mereka’. 

Tak bisa dipungkiri, kesadaran bahwa setiap manusia merupakan entitas yang unik, yang tak tertukar-gantikan, telah melahirkan beragam gagasan dan tindakan besar di sepanjang sejarah kehidupan manusia. Penemuan-penemuan hebat, pemikiran-pemikiran brilian, tindakan-tindakan mencengangkan, bahkan perang-perang yang tak terlupakan di hampir setiap sudut zaman sering menjadi akibat yang tak terhindarkan. Peradaban manusia – ternyata – banyak  berkembang sebagai buah yang lahir dari semangat untuk meneguhkan identitas dan upaya pembedaan ini.

Hasrat dan kesadaran tentang perbedaan setiap diri senantiasa menuntut sebuah wadah; sebuah media yang terindera. Dan media yang dipergunakan sebagai penegas identitas ini tentu merupakan produk-produk kebudayaan manusia. Dalam konteks ini, naluri manusia untuk berbeda akhirnya menyubur-kembangkan kebudayaan manusia. Lahirlah pranata, bahasa, mode dan busana, serta segala penanda budaya yang beragam wujudnya, yang menjadi penegas identitas sebuah pribadi ataupun kaum. Pun dalam sebentuk lagu. 

Begitu banyak lagu tercipta sebagai luapan cita-cita, semangat, juga kesadaran manusia ‘karena’ dan ‘untuk’ berbeda dengan yang lain. Pada ranah yang lebih luas, ia tak hanya melulu soal pribadi, melainkan juga soal suku, negara, bahkan agama.

Irama lagu menyentuh relung-relung yang kadang tak mampu diraba media lainnya. Lirik lagu memiliki daya yang kadang lebih mampu menggerakkan hati dan kehendak. Maka di setiap ruang sosial dalam skala apa pun, tak jarang kita temukan semacam tembang khas yang menjadi penandanya. Hampir setiap organisasi memiliki mars dan hymne-nya. Setiap negara memiliki lagu kebangsaannya. Dan di pulau paling timur nusantara ini, salah satu lagu yang menarik buatku adalah ‘Aku Papua’.

*****

Adalah seorang kenalan baru – putra Papua – yang membawaku mendengar lagu itu untuk kali pertama. Ia adalah salah satu pegawai, tepatnya anggota satuan pengamanan, di kantorku; Om Selotin, begitu kami biasa memanggilnya.

Berawal dari keisengan khas para perantau yang banyak menghabiskan waktu dengan ngobrol, bermain kartu, atau begadang malam hari dengan bermain gitar.  Kami – para pegawai perantau yang berdiam di mess – biasa melakukan hal itu tak jarang hingga dini hari. Malam di awal-awal kedatanganku di Papua itu,  kebetulan aku kebagian peran sebagai ‘pemain gitar’ – meski  sebenarnya aku tak piawai benar memainkan alat musik satu ini. 

Tapi dalam kumpulan manusia semacam kami, kadang memang tak perlu terlalu pintar untuk beruntung tertimpa nasib sebagai pengiring manusia-manusia kesepian itu bernyanyi. Cukuplah bila kebetulan kamu berada pada tempat dan waktu yang ‘pas’, jadilah kamu pengamen kambuhan yang harus selalu siap dengan permintaan lagu lintas genre, lintas bahasa, bahkan lintas zaman.

Sebagaimana lazimnya nyanyian para amatir, diiring pemain musik yang juga amatir, maka sempurnalah alunan lagu itu menjadi lagu yang mungkin hanya pas untuk telinga para amatir. Nada akord gitar dan suara penyanyi sering tak akur. Tempo ketukan musik yang diejawantahkan dalam genjreng gitar sering tak melaju harmonis dengan tempo vocal para penyanyi. 

Tapi semua yang mungkin merupakan ‘hal yang tak diharapkan’ itu ternyata tak pernah mengurangi keasyikan kami. Tak jarang justru segala kekurangan itu menjadi bumbu yang membuat acara kumpul-kumpul semacam itu jadi terasa segar.

Sering lahir kekonyolan ketika kami terjebak pada ‘maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai’ saat menyanyikan lagu. Namun tak jarang juga muncul improvisasi-improvisasi mengejutkan yang hanya mungkin lahir dari reaksi spontan sebuah penampilan  live music.

Maka malam itu menapak cepat, beberapa lagu pun lewat. Biasanya, bahkan kadang sebelum sebuah lagu benar-benar tuntas, salah satu dari yang hadir akan dengan cepat (kadang asal) menyebut satu judul lagu. Dan sebagai orang yang malam itu didaulat jadi ‘pengamen kambuhan’, aku mesti cepat-cepat memutar segala referensi akord dan lagu di otakku untuk bersiap mengiring lagu berikutnya. Tapi tidak kali ini. Kami terdiam. Masing-masing bingung, kemudian saling menanya; selanjutnya lagu apa? 

Pada saat itulah, tiba-tiba dia – si putra Papua itu – menyebut, “Aku Papua..!"

Kontan aku membatin, Aku Papua? Lagu macam apa itu? Siapa yang menyanyikan? Lagu populer atau lagu daerah? Atau barangkali hanya lagu yang banyak didengar di daerah ini, sebab aku tak pernah sekalipun mendengar? 

Karena memang aku tak pernah mengerti tentang lagu itu, maka aku pun berkata, “Wahh… Sorry.. Aku nggak ngerti lagunya. Jadi nggak bisa gitarin..”

“Masa belum pernah dengar?” 

“Belum..”

“Itu lho, yang dinyanyikan si Edo Kondologit, yang liriknya ‘Hitam kulit, keriting rambut’….” Dia lantunkan penggalan lagu itu, kemudian kembali bertanya seperti tak percaya ucapanku, “Tra pernah dengarkah?” 

“Maaf, tapi bener, aku ngga ngerti. Edo Kondologit sih aku tahu, penyanyi dari Papua juga, kan? Tapi lagunya aku bener-bener ngga ngerti. Mungkin kawan-kawan lain ada yang tahu?” aku melihat sekeliling. Berharap ada di antara mereka yang bersedia menggantikanku menjadi tukang gitar. Tapi tak ada yang mau menggantikanku sebagai pengiring lagu.

Setelah beberapa waktu saling menunjuk, ternyata, banyak di antara kawan yang hadir tahu lagu itu. Beberapa di antara mereka bahkan kemudian menyanyikannya, mencoba menunjukkan nada lagunya agar bisa kucari akord gitar-nya. Tapi tetap saja mereka tak mau memainkan gitar mengiringi dinyanyikannya lagu Aku Papua ini. 

Maka selanjutnya terpaksa kuminta kenalan baru dari Papua itu menyanyikan penggalan-penggalan lagu. Setiap dia selesai satu baris nada, aku ikuti dengan gitar, sambil sebentar-sebentar bertanya, “Seperti ini?"

“Ya, itu sudah..” 

Setelah beberapa kali mengulang, sedikit banyak ada gambaran di kepalaku tentang lagu itu. Malam itu, lagu Aku Papua pun jadi terlantunlah, diiringi gitar yang aku sendiri tak terlalu yakin benar atau salah pemilihan akordnya. Si Putra Papua dengan antusias menembangkannya. Sejujurnya, waktu itu aku hanya tahu nada, tak sepenuhnya mencerna isi liriknya. Namun menurutku nada lagu serta lirik lagu ini bagus. Agak berbeda dengan kebanyakan lagu daerah.

*****

Beberapa hari kemudian, kucari format mp3 lagu itu di internet. Ternyata memang ada. Dinyanyikan oleh Edo Kondologit – salah satu penyanyi paling populer yang lahir di tanah Papua ini. Kudengarkan lagunya, kuperhatikan liriknya. 

Tanah Papua tanah yang kaya
Surga kecil jatuh ke bumi
Seluas tanah, sebanyak batu
Adalah harta harapan

Tanah Papua tanah leluhur
Di sana aku lahir
Bersama angin bersama daun
Aku dibesarkan

Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua

Biar nanti langit terbelah
Aku Papua

Tak banyak data bisa kudapatkan tentang lagu tersebut. Di beberapa situs, hanya ada satu dua berita yang menyebut bahwa Edo Kondologit menyanyikan lagu tersebut di beberapa acara. Tapi dari laman http://www.tempo.co  (02/11/02011) kutemukan, lagu ini merupakan karya Edo yang bekerja sama dengan Franky Sahilatua – salah satu musisi ternama Indonesia. Dalam beberapa kali pemberitaan, Edo menyebut, lagu ini adalah buah keprihatinannya akan kondisi masyarakat Papua yang masih saja terkesan terabaikan bahkan setelah berpuluh tahun negeri ini merdeka. 

Dalam sebuah berita di http://regional.kompas.com (01/11/2013) tertulis, “Menurut Edo, lagu Aku Papua menggambarkan betapa kondisi ironis di tanah Papua, tanah kaya tetapi justru orangnya tetap miskin hingga saat ini. Menurut Edo, sudah saatnya harus ada perubahan di Papua.”

*****

Meski dalam beberapa wawancara Edo menyebut lagu itu sebagai sebentuk keprihatinan akan nasib rakyat Papua, namun – sejujurnya – buatku lagu itu sendiri terbilang bernada ‘manis’. Maksudku, nada-nada yang tersusun tak banyak bernada keluhan apalagi perlawanan. Bahkan tak nampak nada gusar di dalamnya. Lirik yang dipilih pun tak banyak mengeksplorasi kondisi rakyat Papua yang memprihatinkan, sebagaimana disebutkan Edo. Lirik lagu yang ada cenderung lebih banyak berkisah tentang Papua sebagai pulau yang kaya, di samping rasa bangga sebagai bagian dari Papua. Bait pertama dan kedua secara jelas menggambarkan itu.

Tanah Papua adalah “tanah yang kaya”, serupa “surga kecil jatuh ke bumi”. Seluas hamparan tanahnya, setiap butir batunya, adalah harta yang menjanjikan harapan. 

Tanah Papua adalah “tanah leluhur”, di mana “aku lahir”. Papua adalah akar berpijak, juga udara untuk berkembang. Bersama desau anginnya, bersama siraman airnya, bersama setiap kersik daunnya, “aku dibesarkan”.

Barulah pada bait ketiga, yang merupakan bagian reffrain lagu, terasa ada nada suara yang beda di sana. Ia jadi semacam pernyataan, sebuah pengejawantahan kehendak dari si aku lirik, dan karenanya jadi sebuah laku yang sadar dalam mencipta jarak dengan ‘yang lain’.

Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
Hitam kulit keriting rambut
Aku Papua
 
Untuk lebih menekankan pesan lagu, dilakukan repetisi kalimat di dalam lirik “Hitam kulit, keriting rambut/ Aku Papua”. Bahkan pernyataan tentang kesadaran si aku sebagai manusia Papua ini kemudian ditegaskan lagi dengan sebuah pengandaian hiperbolis.

Biar nanti langit terbelah
Aku Papua

Dua hal inilah, “hitam kulit” serta “keriting rambut”, yang dipilih komposer lagu untuk menegaskan identitas itu. Dua buah gambaran yang sangat khas. Sebab pada dua hal itulah – memang – ciri terjelas yang mudah ditangkap, yang bisa jadi pembeda.

Tak perlu gambaran terlalu panjang, tak perlu uraian berlebihan. Pada kulit yang hitam dan rambut keriting itulah identitas Papua disematkan. Di sini terlihat kecermatan komposer dalam memilih diksi saat membangun lirik. Dengan begitu, kemudian seakan lahir semacam batas; antara aku (yang hitam dan keriting) yang Papua, dan kamu (kalian) yang bukan Papua.

*****

Harus diakui, persoalan identitas ini memang merupakan persoalan yang genting di daerah ini, terutama bila dikontekskan dengan eksistensinya sebagai bagian dari Indonesia. Sebagai sebuah entitas, Papua memang semacam keunikan bagi Indonesia. Selain  aspek geografisnya yang luar biasa, dari aspek antropologis, ras suku bangsa penghuni pulau ini memang memiliki penampilan yang unik dibanding kebanyakan penghuni kepulauan di nusantara; perawakan, rambut, kulit. Keunikan ini nampak makin nyata dalam ekspresi-ekspresi kulturalnya. Tak jarang, kekhasan ini berdampak pada rasa asing.

Kekhasan dan rasa asing inilah yang sampai saat ini kadang jadi semacam bara yang sewaktu-waktu berpotensi menyala. Yang kutahu, bahkan hingga hari ini semangat untuk memisahkan diri dari sebuah kesatuan bernama Indonesia itu masih hidup di dada sebagian manusia Papua. Tak besar barangkali, tapi juga tak benar-benar sepi.

Dan rasanya kondisi semacam ini tak melulu problem Papua, melainkan problem yang hadir juga di banyak wilayah di negeri ini. Bagaimanapun, Indonesia memang sebuah entitas yang tak pernah sepi dari riak. Ia sebuah entitas yang tak berhenti dalam proses menjadi. Begitu besar bangsa ini, begitu kaya. Dan kekayaan memang selalu memuat dua matra yang beda; ia bisa jadi berkah berharga, namun juga memendam potensi untuk justru jadi bencana. Lebih-lebih bagi negeri ini, negeri yang terbangun dari banyak ide, banyak kepala, banyak jiwa, rencana, juga cita-cita. Senantiasa dibutuhkan kesabaran untuk merawatnya. Dibutuhkan kemauan dan kesadaran bersama, bila memang masih sama berharap Indonesia ada. 

Maka ketika mendengar lirik Aku Papua, diam-diam aku berpikir, barangkali masih akan butuh waktu hingga negeri ini benar-benar merasa satu. Merasa menjadi sebuah entitas yang utuh, dalam satu semangat dan harapan. Menjadi sebuah entitas yang bertumbuh dalam kesadaran bahwa perbedaan mestinya bisa jadi sebuah kekayaan. 

Atau, jangan-jangan malah tak akan pernah ada rasa dan kondisi semacam itu? 

Selalu serba mungkin, sebab bagaimanapun sejarah adalah semesta kemungkinan. Meski kita tahu, manusia adalah komponen utama. Kupikir, ada baiknya setiap diri di negeri ini bertanya sekali waktu; akhir seperti apa yang sedang kita tuju? 


Mkw, Awal Juli 2013 


No comments:

Post a Comment