Monday, October 31

Fragmen 2


Menanti detik tiba, di tepi senja yang biasa.

Tak ada cakap, tak ada suara. Hanya angin; selintas hadir tanpa salam, seperti memastikan rebahnya malam.
Asik sendiri, kami tak saling mengusik. Meski – tetap saja – sesekali kepaknya hadirkan beku di lapis kulitku.

Bukan kebetulan memang, bersua kami di senja begini. Kebetulan adalah ungkapan yang lahir semata karena ketidakmampuan makhluk mendedah rahasia. Selalu ada rencana. Hanya saja, untuk – sedikit – mengerti tentangnya, diperlukan kesediaan mengakrabi musim dan cuaca, peka menelisik segenap tanda. Setidaknya, begitulah yang kupercaya.

Sayangnya, saat ini, aku sedang tak ingin jadi penafsir tanda. Tampaknya dia pun sama. Maka kami pun larut dalam bisu sepenuhnya.

Barangkali karena ini perjumpaan yang melulu dipaksa keadaan.  Perjumpaan dua kembara di seruas jalan; asing kami saling menepi, sesekali anggukan dan senyum basabasi. Selebihnya… diam.

Mungkin juga karena kami sama sadar; bilapun kami memaksa memulai cerita, kesan dan kisah kan segera pudar seiring roda waktu berputar. Titik ini, perjumpaan ini, cuma satu jejak di bentang lintasan. Tak perlu lebih, tak ingin lebih.

Maka saat mentari benam sempurna, dan pekat melebur setiap warna, kami pun beranjak tanpa merasa perlu saling menyapa. Dia mesti kembali menggeluti takdirnya; menyusuri setiap lekuk semesta, menyusupi celahcelah tanpa nama. Sedang aku – masih juga –  coba menemu, muara gurat kodratku.


Bdg, 311011

No comments:

Post a Comment