Thursday, August 26

Berkaca Bhisma

Merenungkan ketulusan,  juga sikap kukuh menepati ucapan, aku teringat Bhisma.

Bhisma, secuil keheningan dalam drama penuh dendam karya Vyasa; Mahabharata. Kukuh namun teduh. Mengenang sosoknya dalam epos besar itu, seperti bersua telaga setelah berhari kembara di padang gersang.

Sejatinya dialah pewaris sah tahta Astina, kerajaan yang nantinya jadi rebutan Pandhawa dan Kurawa dalam cerita Mahabharata. Sebab Bhisma-lah keturunan langsung Santanu -  raja besar Astina. Bhisma pangeran yang lahir dari permaisuri kerajaan; Dewi Gangga. Namun karena keteguhan pada sumpah, juga karena kesadaran akan pengabdian, ia relakan tahta itu tak pernah jadi miliknya. Meski sebenarnya ia berhak, meski sebenarnya ia mampu - dalam Mahabharata, Bhisma diceritakan termasuk manusia yang memiliki daya dan kekuatan selayaknya dewa. 

Ia tanggalkan peluang hidup bergelimang kejayaan sebagai seorang raja, karena sebuah keinginan yang mungkin terlalu bersahaja bagi banyak orang; kebahagiaan ayahnya.

Bermula dari hasrat Santanu – yang telah kehilangan Gangga – untuk mempersunting Durgandini. Sedang Durgandini mengajukan syarat; ia bersedia menikah hanya jika gelar putra mahkota dianugerahkan pada putra yang kelak lahir dari rahimnya.

Padahal sebelumnya telah diputuskan, gelar putra mahkota adalah  milik Dewabrata  (Bhisma sewaktu muda). Sudah seharusnya memang. Dan Santanu begitu mencintai Dewabrata (atau Ganggaya atau Jahnawisuta); putra yang melebihi semua harapannya akan seorang putra. Putra yang menjadi kebanggaan sekaligus jaminan masa depan kerajaannya. Bagaimana bisa merampas masa depan putra tercintanya demi kesenangan pribadinya?

Masgul, Santanu kembali ke kerajaannya. Namun luka terlanjur ada. Tak tersembuhkan, pun setelah waktu bergulir berbilang masa. Hasrat akan Durgandini menjadi siksaan di keseharian.

Belum genap 17 tahun saat Dewabrata memilih sikap.  "Apalah segala hormat dan kejayaan dibanding suka bahagia ayahandaku?" pikir sang Ganggaya. Pangeran belia itu telah memutuskan jalan takdirnya. Maka bergegas dilecut kuda keretanya, dilamarnya Durgandini untuk ayahnya.

Di hadapan Durgandini, disaksikan seisi bumi, ia relakan gelar putra mahkota kerajaan kepada putra Durgandini yang kelak lahir. Tapi ternyata belum cukup juga. Durgandini khawatir kelak keturunan Dewabrata akan menyulut sengketa. 

"Kau mungkin rela, tapi bagaimana kelak anak-anakmu?"tanya Durgandini  

Dewabrata tercenung. Betapa berat jalan dharma. Tapi kembali ia tetapkan; dharma seorang putra adalah mempersembahkan kebahagiaan buat orang tuanya.


Maka pada hari itu pula,  lahirlah sumpah agung Dewabrata. Sumpah yang membuat semesta bergetar, para dewa gemetar; Dewabrata yang belia, yang cemerlang, bersumpah hidup sebagai brahmacarya, tak menikah selamanya.

Dewata menaburkan wangi melihat ketulusan Bhisma. Maka Dewabrata pun mendapat anugerah untuk ‘tidak akan menemui kematian sebelum datang keinginan’. Dari langit berkumandang suara, “Bhisma… Bhisma…. Bhisma… Dia yang Agung Sumpahnya… Jayalah engkau selamanya....”

Bhisma telah memilih untuk menukar yang dimilikinya dengan kebahagiaan orang lain – ayahnya. Dengan begitu ia menjadikan hidupnya berharga. Dengan memilih meninggalkan haknya sebagai calon raja pun sebenarnya Bhisma sedang bertaruh. Mempertaruhkan masa depannya, mempertaruhkan hidupnya. 

Namun tidakkah hidup memang pertaruhan? Bukankah setiap detik kita dipaksa memilih satu di antara banyak pilihan, tanpa kita sepenuhnya paham apa yang akan kita temukan setelah pilihan ditentukan, setelah langkah dijalankan?

Teringat selarik sajak Friedrich Schiller  (dlm. Kleden, 2006),  “hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan.” Hanya dengan memilih mempertaruhkan hidup demi sesuatu yang diyakini, manusia akan menemukan harkatnya sebagai insan sejati. Dan itu yang dilakukan Bhisma.

Karena keinginan mengukuhi sumpah pulalah Bhisma diceritakan membunuh satu-satunya wanita yang dicintainya; Amba. Tragedi yang menjadi sesal seumur hidup. 

Alkisah, Bhisma mesti terlibat dalam sebuah sayembara memperebutkan tiga putri jelita. Sayembara  yang ia tempuh demi mencarikan pendamping terbaik untuk adik-adik tirinya. Sayembara yang ia menangkan setelah mengalahkan para kesatria dalam sebuah pertempuran. Maka Amba, yang terkemuka dari ketiga putri yang disayembarakan itu, menjadi pembuka babak baru dalam hidup Bhisma.

Ketika itu, Amba yang jelita mendesak Bhisma agar memperistrinya. Sebab begitulah seharusnya seorang ksatria berlaku; Bhisma yang memenangkan sayembara, maka Bhisma-lah pemilik jiwanya. Padahal Bhisma mengikuti sayembara justru untuk mencarikan jodoh bagi adik-adiknya, para putra yang lahir dari rahim Durgandini. 

Sayang, rasa memang tak pernah bisa dipaksa. Amba terlanjur menyerahkan hati kepada Bhisma. "Hanya kematian yang bisa mengubahnya," katanya kepada Bhisma.

Bhisma gugup. Ada kegelisahan,  mungkin ketakutan. Bukan pada seribu raja yang juga menginginkan Amba; yang ternyata mampu ia takhlukkan seorang diri. Bhisma resah justru pada diri sendiri. Ia gentar bila sumpah waktu mudanya sampai tergadai. Sebab sejujurnya  segenap jiwanya mendamba Amba. Hanya Amba yang mampu memperlengkapi hidupnya. 

Garis hidup kadang begitu pelik. Di hadapan nasib, manusia begitu kerdil; tanpa daya, tanpa kuasa. Begitu ingin Bhisma menyusuri hidup bersama Amba. Namun sumpah telah diucapkan, dan karenanya menuntut untuk diteguhkan. Bhisma mesti memilih.

Gamang,  ketidakberdayaan menyerang. Bhisma goyah. Maka anak panah yang tadinya hanya untuk menakut-nakuti itu, terlepas  bersarang di dada Amba.

Hari-hari berikutnya adalah kesepian dalam penantian. Penantian demi perjumpaan yang dijanjikan, penantian pada hari di mana sesal dapat dikebaskan. Didampinginya adik-adiknya, dirawatnya tanah leluhurnya, hingga dididiknya cucu-cucunya; Kurawa dan Pandhawa. 

Hingga tiba hari saat perih nyaris tak tertahankan; menyaksikan cucu-cucunya, yang  ia kasihi melebihi apa pun, saling berhadapan sebagai lawan di Padang Kuruksetra. Berusaha saling membinasakan, demi berebut kuasa atas kerajaan. Aku bayangkan Bhisma tercenung di pinggiran Kuruksetra, sambil perih berbisik, "Oh, hidup..."

Maka Bhisma tersenyum ketika Amba dalam raga Srikandi, menyongsongnya di medan Kuruksetra . Inilah waktunya, sebab memang telah sekian masa ia rindukan.

“Mari Adikku, kisah ini kita tuntaskan. Sambut aku, sambut aku, beriring kita reguk damai yang lama kita nantikan,” gumamnya. Dipersiapkan jiwanya, ditegakkannya dada menyambut anak panah yang tiba.  Bhisma pun Gugur, langit senja Kuruksetra mengabur…

Ada sebuah lagu yang - menurutku – memiliki syair menarik tentang gugurnya Bhisma. Lagu yang dicipta (dan dilantunkan) Sujiwo Tejo itu berjudul “Gugur Bhisma”.

Dibuka dengan sebuah ‘puisi pendek’:
Pada kancah Bharatayuda
Pada kancah perang besarmu hari ini
Bhisma; jiwa besar pada sekeping kaca
Setiap saat engkau berkaca
Gugur!

Musik mengalun, syair terlantun (aku bayangkan Bhisma mengurai tembang):
Kang pungkasan pitungkase Kangmasmu
Kandhaku kang pegat-pegat tan bisa runtut
(yang penghabisan, ucapan Kakandamu ini
Ucapku yang tersendat tak mampu runtut)

Kanthi muncrate getih pating daleweran
Dadaku kang kejet-kejet tan bisa muwus
(beriring pancar darah yang leleh
dadaku berkejat tanpa mampu berucap)

Disambut suara vocal perempuan (aku bayangkan Amba adanya):
Usai usiamu, Kasihku
telah usai

Telah usai senang
Telah tuntas perang
Usai semesta rasa
Semesta duka lara
Usai sudah suka duka

Kacakan
Kaca wajahmu berkaca di mataku yang
Mataku berkaca kaca 

Kalau t’lah lelah dan kau terlampau berkilauan luka
Kupangku, kau kan kupangku

Bhisma, ‘jiwa besar’ sebening ‘kaca’. ‘Setiap saat’ tak henti ia ‘berkaca’. Meneliti diri, menyusuri hati. Hingga tak pernah kehilangan jernih. ‘Hari ini’, di tengah ‘kancah Bharatayuda’, di tengah ‘kancah perang besar’-nya sebagai manusia, ia ‘gugur!

Maka kini ‘telah usai senang”, telah ’tuntas perang’. Perang besar yang selalu digelutinya untuk merayakan hidup. ‘Usai semesta rasa, semesta duka lara. Usai sudah suka duka’. Tinggal menanti damai yang panjang, mereguk bahagia perjumpaan dengan Sang Maha Terkasih juga sang kekasih yang lama menghilang. Maka tak perlu ada segala ‘duka lara’.

Amba yang jelita menyambutnya, memeluknya, berucap, ‘Usai usiamu, Kasihku'. Telah usai dharmamu di dunia yang rombeng ini. Telah kau tepikan segala beban, telah kau menangkan segala  pertempuran. Mari, kini kuiring engkau ke surga. ‘Kacakan’ wajahmu yang secemerlang ‘kaca’ itu pada ‘mataku’ yang ‘berkaca-kaca’ haru menyambutmu.

Telah 'lelah’ ragamu, meski tetap ‘berkilauan’ dalam segala ‘luka’. Tanggalkanlah, relakan ia tetap jadi bagian air, tanah, api, dan udara di bumi Astina. Kini damailah engkau dalam pangkuanku. ‘Kupangku, Kau kan kupangku’ sepenuh rindu. 

Tersenyum, Bhisma damai di pangkuan Amba. Telah dituntaskan perang besarnya dengan sepenuh-penuhnya kebesaran jiwa. 

Tinggal kita mencoba berkaca. Berkaca pada jiwa  Bhisma. Setiap  saat kita berkaca, berjaga senantiasa mengelap kembali kaca jiwa kita. Setiap detik kita perlu berkaca pada setiap jiwa besar di sekeliling kita. Setiap waktu kita coba mengaca, berbagi kasih pada mata yang berkaca-kaca di sekitar kita.

Agar hidup tak hilang arti. Agar dunia menyisakan indah untuk ditinggali.


Bdg, 260810

No comments:

Post a Comment