Monday, August 23

Selepas Kepergian


Apa yang tersisa dari hidup saat semua yang indah terasa muskil?

Bagimu, mungkin terasa berlebihan mengaitkan segala yang indah (dalam hidup) dengan ada/tiadamu. Bila pun hal ini kuungkapkan padamu, aku bayangkan kamu hanya akan senyum (atau menebar tawa khasmu), lantas berkata, "Lagi kenapa sih, kamu? Kehabisan obat, ya?"

Ya, begitulah kamu. Sederhana dan jujur dalam menatap hidup, meski tak pernah sederhana dalam memperlakukan kehidupan.  Selamanya kamu tetaplah kuat, ceria, dan tak banyak menuntut.

Buatmu, hidup bukanlah hitung-hitungan ruwet yang perlu dipusingkan atau ditakuti. Hidup terlalu bernilai untuk direcoki dengan segala remeh temeh semacam persaingan, pemenuhan ambisi, pengejaran cita-cita sukses, kekayaan materi dan lainnya, yang bagi banyak orang dianggap begitu berharga.

Hidup hanya pantas dijalani, disyukuri, dan dirayakan. Di dalamnya, selalu ada ruang untuk mendulang kebahagiaan dan berbagi keceriaan, meski dalam kondisi sulit yang mungkin tak terbayangkan bagi banyak orang.

Maka waktu buatmu adalah selalu tentang penyempurnaan kebahagiaan bagi mereka di sekitarmu; setia mendengar keluhan kawan, memberi saran saat diperlukan, mengunjungi nikahan, menengok saudara yang melahirkan,  atau bantuan dan pemberian untuk siapa pun yang kau pandang memerlukan. Hampir tak pernah terungkap persoalan-persoalanmu, kesulitanmu, keinginanmu, atau sekadar keluhanmu. Seakan kau dilahirkan memang untuk hanya mewarnai sekelilingmu. Tak berubah sejak pertama bertemu hingga kuantarkan engkau ke rumah terakhirmu.

Pun dalam singkat kebersamaan kita.

Saat adamu, semua wajar mengalir. Kepadamu bisa dengan leluasa kuungkapkan segala yang di hati, di pikiran, sambil tetap meyakini akan ada ucap dan sikapmu yang bisa kujadikan pegangan. Meski tak jarang pada awalnya terasa menyakitkan, sering kutemukan kebenaran justru dari ucapan sederhanamu. Jujur, itu yang paling kutangkap saat bercakap denganmu - sesuatu yang tak gampang kudapatkan dari orang lain.

Kita memang tak pernah terbiasa mengungkap rasa dengan bahasa serba manis penuh bunga. Lebih mudah bagi kita berbicara dengan irama cadas, saling meledek, menjadikan kekurangan masing-masing sebagai bahan canda, atau saling mencela dalam 'peperangan-peperangan kecil'. Tapi dengan apa yang ada itu pun kita (setidaknya aku) tetap bisa merasa lengkap.

Di dekatmu terasa tak berguna segala segan, rikuh, apalagi curiga. Tak pernah ada kekhawatiran. Aku mempercayaimu, dan belum ada satu pun hal yang melunturkan itu.

Nyaman, mungkin istilah itu yang bisa menggambarkan perasaanku saat denganmu. Kupikir selama ini pun kau begitu. Ya, hanya saat bersama kita bisa menjadi diri kita masing-masing dengan sebenar-benarnya. Dan aku bersyukur pernah merasakannya bersamamu.

Dulu, semua itu terasa lumrah, karenanya mungkin kadang kurang terhargai. Kini, semua yang tampak lumrah itu terasa betapa bernilai; tak terganti.

Aku bersyukur Tuhan memperkenalkan kita, bahkan menyatukan kita dalam sumpah di hadapan-Nya. Aku bersyukur menjadi orang yang kau percaya mendapat perhatianmu, dan diberi-Nya kesempatan mendampingimu hingga waktu terakhirmu. Saat ini, semua terasa menjadi berkah buatku.

Sungguh, setelah tiadamu, menjadi lebih jelas bagiku; kaulah keindahan itu. Kaulah keindahan yang dipinjamkan Tuhan untukku. Sayang, tak lama, sang Pemilik Sejati telah meminta kembali apa yang dipinjamkan-Nya, menyisakan sepi yang entah kapan teratasi.

Hidup - bagaimanapun - memang perjalanan sunyi masing-masing. Setiap kita menjadi penarik tunggal gerobak penuh muatan, yang tak bisa kita lepaskan hingga kematian. Sendiri, selalu sendiri.

Kita lahir, disatukan dengan banyak yang kita cintai, terlibat (dan melakoni dengan sempurna) manis getir drama hidup, kemudian dipaksa menghadapi kehilangan demi kehilangan. Setiap saat kita dididik untuk selalu bersiap menghadapi kehilangan, hingga kita mampu menghadapi kehilangan paripurna; kematian.

Ya, sejatinya hidup adalah rangkaian kehilangan. Kepergianmu menegaskan itu.

Lantas, apa yang tersisa dari hidup?

Sampai saat ini, setelah beberapa waktu kepergianmu, tak sepenuhnya kutemukan jawaban pertanyaan itu. Barangkali belum... atau malah tak akan pernah ada jawab?

Entahlah....

Sejauh yang kutahu, semua 'agak' tertanggungkan hanya karena ingatan akan ajaranmu; Sepahit apapun, hidup mesti dijalani, digeluti. Kehidupan, segetir apapun rupa dan likunya, selalu layak disyukuri.

Kau yang - selalu - mengajarkannya padaku...



~ Bdg - Sabtu, 210810, Akhir hari... ~

No comments:

Post a Comment