Monday, August 30

Hidup, Kehilangan, Iman


-->

Beberapa waktu terakhir, agak akrab dengan lagu sebuah band asal Jogja, Letto, terutama lagu  berjudul "Memiliki Kehilangan". Kupikir lagu ini memiliki tema yang agak 'menyimpang' dari banyak lagu yang saat ini sedang laris di pasaran. Mungkin karena itu juga - setahuku - lagu ini bukanlah lagu unggulan. Namun bukan berarti lagu ini - terutama liriknya - tak layak dinikmati, dirasakan...


Lagu sederhana, lirik sederhana. Namun merenungkannya ternyata tak sesederhana tampaknya.

Tak mampu melepasnya
Walau sudah tak ada
Hatimu tetap merasa
Masih memilikinya
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya

Pernahkah kau mengira
Kalau dia kan sirna?
Walau kau tak percaya
Dengan sepenuh jiwa
Rasa kehilangan hanya akan ada
Jika kau pernah merasa memilikinya

Kehilangan; apa yang lebih menakutkan dari itu?

Sayangnya, hidup tidaklah lepas dari kehilangan. Dalam sebuah tulisan sempat aku menyebut; hidup adalah rangkaian kehilangan. Aku percaya begitu.

Ada begitu banyak hal berharga dalam kehidupan, maka lumrah bila ada perasaan sayang dan  ‘tak mampu melepas’ apa yang kita sayangi. Tetap saja ‘merasa masih memilikinya’. 

Namun apa hendak dikata, walau masih ‘tak percaya dengan sepenuh jiwa’, akan tiba masanya apa yang kita sayangi, yang kita hargai – apa pun bentuknya – ‘sudah tak ada’ lagi bersama kita. Dan kita dipaksa menerima itu.

Yang jadi pikiran, ada ungkapan (dalam lirik itu); ‘rasa kehilangan hanya akan ada/ jika kau pernah merasa memiliki’.

Bukan hal baru sebenarnya.  Bahkan dalam cersil karya  Khoo Ping Hoo – yang banyak kubaca waktu SMP – pun bertaburan pernyataan yang kurang lebih mirip; “Hanya yang merasa memiliki yang akan merasakan kehilangan”. Intinya, rasa ‘kehilangan’ adalah dampak ikutan perasaan ‘memiliki’. Kalau tak ada rasa ‘memiliki sesuatu’, tak mungkin ada perasaan sedih karena ‘kehilangan sesuatu’. Kalau tidak salah, berdasar konsep nilai (filsafat (?))-nya Lao Tse ( 4 SM).

Persoalannya, bisakah hidup dipisahkan dari rasa (atau naluri) memiliki? Dalam hidupnya, bisakah manusia memilih untuk tak pernah merasa memiliki?

Sedangkan dunia berkembang, hubungan antar manusia tercipta, juga  peradaban terbangun  justru karena ada rasa saling peduli, rasa saling memiliki antar manusia. Juga antara manusia dengan segala hal yang dipandangnya berharga, rasa memiliki itu niscaya ada. Tidak melulu harus segala hal yang bersifat material dan fisik, tak kurang juga yang bersifat immaterial dan psikis, bahkan ideologis. Bahkan tak sedikit orang memandang apa ‘yang tak kasat mata’ ini justru jauh lebih berharga dari semua yang indah di penglihatan.

Lalu, tidakkah dengan menafikan ‘rasa memiliki’ ini, manusia justru telah menolak kehidupan? Mungkinkah manusia menolak kehidupan?

Jostein Gaarder, dalam novelnya The Orange Girl (terbit di Indonesia dengan judul Gadis Jeruk, Mizan; 2005), membuat pertanyaan menarik tentang manusia dan ‘hak pilihnya’ atas hidup/kehidupannya. Melalui tokoh Ayah – sudah meninggal – yang bertanya pada anaknya lelakinya, Georg, lewat surat yang diwariskan, Gaarder bertanya:
Bayangkan kamu berada di awal dongeng, suatu waktu miliaran tahun yang lalu ketika segala sesuatu diciptakan. Dan kamu boleh memilih apakah kamu ingin dilahirkan untuk hidup di suatu tempat di planet ini. Kamu tidak tahu kapan kamu akan dilahirkan, tidak juga berapa lama kamu akan hidup, tapi itu tak akan lebih dari beberapa tahun. Yang harus kamu ketahui hanyalah bahwa, jika kamu memilih untuk hadir pada tempat tertentu di dunia ini, kamu juga harus meninggalkannya lagi suatu hari …. (Padahal – tambahan dariku)… Segalanya begitu menyenangkan di sini sehingga sangat pedih untuk membayangkan bahwa suatu ketika hari-hari tiada akan ada lagi…. Apa yang kamu pilih, Georg…. Akankah kamu memilih untuk tinggal di bumi ini pada suatu tempat tertentu, entah untuk waktu yang singkat atau panjang… atau kamu akan menolak untuk ikut dalam permainan ini karena kamu tidak menyukai peraturannya?

Bila pertanyaan itu disampaikan kepadaku, apa yang kira-kira akan kukatakan?

Seandainya, ya seandainya, aku memang  mendapat kesempatan memilih, apa yang akan aku pilih? Akankah aku berani memilih lahir di dunia dengan kesadaran bahwa suatu hari – entah kapan tapi pasti –akan dipaksa berpisah dengan semua yang indah dan kucintai, yang tentu saja lekat dengan ‘rasa kumiliki’, baik dalam konteks meninggalkan atau ditinggalkan? Atau malah memutuskan untuk tak pernah terlahir, hidup nyaman dalam buaian Tuhan? 

Meskipun dengan ‘absen’ kita tak akan berkesempatan mencicipi dunia dan segala perniknya, setidaknya dengan begitu kita akan terhindar dari rasa kecewa, sakit, luka, dan sedih saat berpisah dan kehilangan dunia dan segala isinya yang – mungkin – sudah  terlanjur lekat dengan kita.


Yang jelas, getir Gaarder menyebut, “Kita datang ke dunia ini hanya sekali. Kita masuk ke dalam dongeng besar ini hanya untuk melihat ceritanya berakhir!

Pelik memang. Untungnya (atau sayangnya (?)) pilihan sejenis itu tak pernah ada. Kita tak pernah diberi kesempatan memilih untuk terlahir atau tidak. Tak pernah ada tawar-menawar. Dan justru karena tak ada ‘tawar menawar’ inilah maka tak ada pilihan alternatif.

Aku terlahir, hidup, dan terlibat dalam apa yang oleh Gaarder disebut ‘dongeng besar’ ini. Dan ‘dongeng besar’ yang satu itu  lah yang mesti digeluti, diakrabi. 

Masalahnya, hidup di dunia tak pernah sempurna. Terlalu banyak codet dan lubang. Dan ini persoalan yang tak terselesaikan hingga datang kematian.

Kadang ketika yang tak indah terjadi, saat bencana menimpa, kita seperti dipaksa berkata, “Begitu memuakkannya hidup.” Tak pernah ada keindahan sejati di dunia. Seindah apapun rupanya, dunia tetap saja dicipta agar manusia menyesap pedih. Terlahir di dunia adalah menanggungkan samsara, demikian sang Budha berkata.

Maka dunia selalu dipertentangkan dengan surga. Surga adalah kebahagiaan sedang bumi adalah rentetan masalah dan kesedihan. Surga adalah jalinan keindahan, sedang bumi adalah hamparan ketaksempurnaan, bahkan kadang juga kesia-siaan.

Sayangnya – sebagaimana telah kusebut di awal – tak pernah ada pilihan. Kita dipaksa untuk terus berusaha, mengerahkan segala daya untuk mempertahankan hidup. Sepahit apapun, sesusah apapun itu, hidup harus dijuangkan.

Tragisnya,  pada saat yang sama, kita memahami benar bahwa sekuat apapun usaha, sebesar apapun daya upaya, pada akhirnya segala bermuara ke kematian juga. Manusia dipaksa selalu berjuang, menikmati kemenangan-kemenangan kecil, untuk – tetap saja – dipaksa kalah pada suatu ketika. Tak aneh bila Camus menyebut ini sebagai absurditas nasib hidup manusia.

Mencerna kehidupan manusia dalam perspektif ini membuat kita merasa sendiri; tanpa daya, tanpa teman apalagi pelindung. Serasa hidup hanya sekadar menanti saat kembali, meski banyak hal yang – rasanya – belum juga terselami. Mengingatkan “Derai-Derai Cemara”-nya Chairil:

Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sampai pada akhirnya kita menyerah

Betapa sunyinya hidup manusia. Dipaksa lahir, berkumpul dengan segala yang indah, yang dicinta, untuk kemudian dipaksa tercerabut dari semua. Seakan hidup di dunia hanya ‘kepura-puraan’, sebab pada akhirnya setiap kita hanya akan sendirian. Lantas untuk apa hidup dipertahankan, diperjuangkan?

Barangkali di sinilah iman berperan. Iman; kepercayaan, keyakinan pada sesuatu yang mungkin tampak tak gampang terjelaskan, kita biasa menyebutnya Tuhan.

Iman menjadikan manusia tetap memiliki energi menghadapi kenyataan yang kadang jauh dari harapan. Sebab ada sebuah ‘harapan yang lebih besar’ bahwa ketika manusia mampu menyikapi ‘keadaan/kenyataan yang tak sesuai harapan’ itu, manusia akan menemukan sesuatu yang lebih membahagiakan di akhir perjalanan.

Dengan iman, manusia dilatih memandang hidup (di dunia) ini sebagai ‘kesementaraan’. Dunia dan segala isinya sebagai titipan atau pinjaman semata. Dunia adalah salah satu mata rantai dari perjalanan panjang tak bertepian. Dan karena ‘hanya’ sementara, tak perlu ada kemelekatan atau keterikatan yang terlalu dengan segala yang ada. Semenjana saja, tak perlu berlebih. Meski kadang itu juga tak selalu gampang diimplementasikan – aku sangat merasakan itu.

Yang terpenting dari semuanya, dengan iman manusia dilatih untuk berbaik sangka terhadap Tuhan. Tak mungkin Tuhan menghendaki keburukan untuk manusia. Tuhan senantiasa punya rencana yang selalu baik, mesti kadang tak terjelaskan bagi kebanyakan kita. Merujuk Leibniz (dlm. GM; 2005), Tuhan telah memberi manusia sebuah dunia yang terbaik dari yang mungkin ada. Iman mengajarkan itu.
******

Kembali kuputar lagu itu. Kupikir suara Noe Letto cukup membantu membangun suasana lagu berjudul “Memiliki Kehilangan” ini. Ada sedikit serak, namun tak merusak kejernihan. Ada ‘sesak’, namun tak berlebihan. Ada sedih, namun tak terjatuh dalam rengekan. 

Mungkin karena pada akhir lagu seakan terbit kesadaran, kehilangan adalah bunga kehidupan. Bukan untuk dilawan, apalagi ditiadakan. Sebab mengingkari kehilangan tak beda dengan mengingkari kodrat kehidupan itu sendiri; hidup dan mati, mendapatkan dan kehilangan, adalah pasangan tak terpisahkan dalam hidup.

Ia hanya perlu diakrabi, diresapi, bahkan – kalo mungkin – disyukuri, sambil tetap menjaga kesadaran untuk membatasi ‘kemelekatan’ pada segala yang disayangi. Sebab sejatinya tak ada yang benar-benar kita miliki. Sebab sejatinya “rasa kehilangan hanya akan ada/ jika kau pernah merasa memiliki”. Begitukah… ???

Masih terngiang, di hati, di telinga… “Tak mampu melepasnya/ walau sudah tak ada….Hatimu tetap merasa/masih memilikinya….”


Akhir Agustus, 2010

No comments:

Post a Comment